Selasa, 18 April 2017

Representasi Kekerasan Verbal pada Novel Di Tanah Lada Karya Ziggy Zezsyavionnasabrizkie

Karya sastra dilahirkan dari sebuah imajinasi yang diekspresikan seorang pengarang. Pegarang berusaha menyampaikan pengalaman, perasaan, ide, dan semangatnya melalui karya sastra yang diciptakan. Pengarang bertujuan agar pembaca dapat memahami dan mengapresiasi apa yang disampaikannya. Karya sastra yang mudah dipahami dan digemari adalah prosa yang biasa disebut fiksi. Fiksi dikenal dengan kisah khayalan, imajinatif, bersifat rekaan yang bertujuan memberikan hiburan. Karya sastra sebagai refleksi dari realitas kehidupan memiliki problematika yang beragam. Hal tersebut yang menjadikan karya sastra dikatakan sebagai karya fiksi yang mengungkap berbagai persoalan dalam kehidupan. Kemampuan karya sastra dalam merepresentasikan realitas hidup memudahkan kita untuk menentukan berbagai kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat, seperti kekerasan, kekuasaan, pandangan hidup dan sebagainya yang secara objektif sulit untuk dideteksi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ratna (2011: 35) bahwa karya sastra merupakan sebuah dunia miniatur yang berfungsi sebagai inventarisasi kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi.
Karya sastra terutama prosa menyuguhkan cerita yang dilakonkan tokoh-tokohnya. Gambaran kehidupan tokoh tersebut disajikan dengan rangkaian cerita yang dilengkapi dengan imajinasi pengarang. Novel merupakan karya sastra yang paling populer karena lebih mudah dinikmati dan mempunyai daya komunikasi yang luas pada masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran dan dapat diambil manfaat dan pelajaran dalam kehidupan untuk menjadikan hidup lebih baik. Untuk itu, pengarang menawarkan berbagai permasalahan yang dilengkapi dengan imajinasi agar terlahir karya prosa yang dapat dinikmati pembaca karena karya sastra terbentuk dari apa yang dilihat, dirasakan, dialami, dan kemudian dikembangkan dengan imajinasi oleh pengarang sesuai dengan realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010: 5) yang mengemukakan bahwa dunia fiksi menyajikan keyakinan dan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan secara nyata dan sebenar-benarnya.
 Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat kehidupan yang menimbulkan pandangan dan perilaku menyimpang manusia. Salah satunya adalah terjadinya tindakan kekerasan dalam kehidupan sosial masyarakat. Gejala kekerasan akhir-akhir ini sering dijadikan bahan berita baik dalam pemberitaan media cetak maupun visual. Informasi megenai perampokan, pemukulan, penganiyaan, bahkan pembunuhan dilakukan tanpa melihat jenis kelamin, umur, waktu dan tempat, atau lingkungan sosial. Tindak kekerasan ini bisa juga berupa penghinaan, perlakuan diskriminatif, atau penerapan segregasi. Kekerasan terjadi disebabkan oleh pelbagai faktor, antara lain ekonomi, ketidakharmonisan lingkungan keluarga, kecemburuan sosial, dan kerakusan.
Tidak hanya terjadi di dunia nyata, di dalam sebuah karya sastra juga sering mengangkat fenomena-fenomena kekerasan baik verbal maupun nonverbal yang terjadi dalam lingkungan sosial masyarakat maupun dalam lingkungan keluarga. Penggambaran kekerasan dalam karya sastra dapat ditemukan sejak lama dalam karya sastra dunia. Sebagai suatu lembaga sosial, kesusastraan mampu mengetengahkan persoalan-persoalan kemanusiaan, khususnya kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Pengungkapan yang dilakukan oleh pengarang bisa ditangkap sebagai kritik sosial terhadap kehidupan di sekelilingnya, di samping sebagai penghayatan akan mlai-nilai yang dianggap ideal, sekaligus pencerminan akan suatu bentuk pemikiran atau ideologi, bahkan juga sebagai suatu terapi. Kekerasan itu sendiri pun bentuknya bermacam-macam, dari yang eksplisit sampai yang terselubung yang dilakukan oleh berbagai pihak. Pada dasarnya fenomena kekerasan yang terjadi dalam karya sastra dianggap sebagai representasi kehidupan yang memberikan nilai-nilai positif kepada pembaca untuk diilhami dalam kehidupan.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie merupakan salah satu pengarang muda kelahiran tahun 1992 yang telah menghasilkan karya dalam bentuk novel dengan kemasan pemakaian bahasa yang mengesankan dalam mempresentasikan kehidupan. Di Tanah Lada merupakan salah satu karya Ziggy yang masuk dalam kategori sebagai pemenangke-II sayembara menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 2014.
Novel Di Tanah Lada merupakan salah satu novel yang mengangkat dan menggambarkan tentang kehidupan tokoh yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orang tua. Perlakuan yang dialami adalah tindak kekerasan dalam bentuk verbal yang dicerminkan lewat sudut pandang anak kecil. Dari sudut pandang Salva yang berumur 6 tahun, kita bisa melihat bagaimana mereka menghadapi hari-hari penuh tekanan. Kekerasan verbal pada anak merupakan kasus yang sering muncul saat ini. Hal tersebut terjadi di dalam keluarga dan sangat merugikan anak sebagai korbannya. Kekerasan dalam bentuk verbal memang tersamarkan yang merupakan kekerasan yang tidak terlihat, lembut, tidak dikenali, dan kealiman. Kekerasan dalam wujud verbal tersebut dilakukan lebih pada penggunaan bahasa atau tintak tutur berupa kata-kata yang mungkin sebagai pelampiasan emosi sehingga muncullah tindakan berbahasa yang merupakan bagian dari tingkah laku manusiawi yang tak lain merupakan tindak tutur kekerasan.
Menurut Baryadi (2012: 37) mengungkapkan ada empat jenis tindak tutur kekerasan verbal, diantaranya tindak tutur kekerasan tidak langsung, tindak tutur kekerasan langsung, tindak tutur represif, dan tindak tutur alienatif. Tindak tutur kekerasan tidak langsung merupakan kekerasan verbal yang tidak seketika itu juga mengenai korban, tetapi melalui media atau proses berantai. Tindak tutur kekerasan lansung adalah tindak tutur kekerasan yang langsung menimpa pada korban saat komunikasi verbal berlangsung. Tindak tutur kekerasan alienatif merupakan tindak tutur yang menekan atau mengintimidasi korban seprti memaksa, mengancan, mengata-ngatai, dsb. Tindak tutur alienatif adalah tindak tutur yang bermaksud menjauhkan, mengasingkan, atau bahkan melenyapkan korban dari komunitas atau masyarakatnya seperti mendiamkan, mengusir, menjelek-jelekan, ataupun mempermalukan, dsb.
Fenomena kekerasan verbal dalam novel tersebut menjadi menarik untuk dikaji, mengingat begitu besar bahayanya kekerasan terhadap anak baik itu penghinaan, pelecehan dan perendahan harga diri yang mengarahkan pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan atau bahkan mematikan. Kekerasan pada dasarnya merupakan tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) yang memberikan tekanan intensif dengan tujuan merusak, menghukum, ataupun mengontrol terhadap tindakan yang terjadi dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Salmi (2005: 225) yang mengatakan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang mengancam badan atau psikis orang atau sekelompok orang dan datang dari berbagai bentuk.
Secara umum, kekerasan verbal biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melebeli, atau juga mengkambinghitamkan. Sejalan dengan pemikiran Sudaryanto dalam Baryadi (2012: 36) bahwa kekerasan verbal terwujud dalam tindak tutur yang disebut sebagai tindak tutur kekerasan. Tindak tutur kekerasan, selain dengan titi nada tinggi, juga ditandai dengan kelugasan pengungkapan kata-kata yang menyakitkan hati (kata-kata jorok atau kata-kata makian yang merendahkan pihak lain) lazim dikenal sebagai “ucapan yang keras”, “bicaranya keras”, atau “kata-katanya pedas”, “omongannya menyakitkan”, dan lan-lain.
Sara Mills melihat sebuah wacana pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Dalam artian siapa yang menjadi subyek dari penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan (Darma: 2014). Terkait dengan posisi aktor dalam teks, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana subyek-obyek menempatkan representasi sebagai bagian terpenting. Dengan demikian hal ini mengarah kepada bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan dan peristiwa direpresentasikan dengan teknik tertentu dalam wacana dan menghadirkan makna kepada publik. Menurut Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis lebih menekankan pada proses produksi dan reproduksi makna. Oleh karena itu, penulis berusaha merepresentasikan teks berdasarkan latar belakang terciptanya karya, dan apakah tujuan dari penyusunan karya tersebut. Terlebih pada latar belakang sejarah dan ideologi pengarangnya.
Analisis wacana kritis (AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Ada tiga hal sentral dalam pengertian teks, konteks, dan wacana (Arifin, 2012: 118). Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis ekspresi komunikasi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam hal ini, yaitu memasukkan semua jenis situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi, serta fungsi yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatiannya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Bahasa sebagai medium dalam sastra menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek. Dalam dunia sastra wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungannya dengan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Kajian dalam penelitian ini menggunakan teori Analisis Wacana kritis, karena sangat membantu dalam menganalisis sebuah novel. Metode analisis wacana digunakan terhadap teks yang terdapat dalam cerita novel. “Tujuannya untuk membongkar nilai ideologis novel yang akan diteliti” (Triharyanto, 2009: 15). Model ini melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subyek penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan yang menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain posisi-posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana teks mengidentifikasikan dan menempatkan pembaca dalam penceritaan (Eriyanto, 2009: 200).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template Makalah (Non Penelitian)

JUDUL  (Judul Artikel Ditulis dengan Font Times New Roman 14, Maksimum 14 Kata untuk Bahasa Indonesia dan 12 Kata untuk Bahasa Inggris,)    ...