Karya sastra dilahirkan
dari sebuah imajinasi yang diekspresikan seorang pengarang. Pegarang berusaha
menyampaikan pengalaman, perasaan, ide, dan semangatnya melalui karya sastra
yang diciptakan. Pengarang bertujuan agar pembaca dapat memahami dan
mengapresiasi apa yang disampaikannya. Karya sastra yang mudah dipahami dan
digemari adalah prosa yang biasa disebut fiksi. Fiksi dikenal dengan kisah
khayalan, imajinatif, bersifat rekaan yang bertujuan memberikan hiburan. Karya
sastra sebagai refleksi dari realitas kehidupan memiliki problematika yang
beragam. Hal tersebut yang menjadikan karya sastra dikatakan sebagai karya
fiksi yang mengungkap berbagai persoalan dalam kehidupan. Kemampuan karya sastra
dalam merepresentasikan realitas hidup memudahkan kita untuk menentukan
berbagai kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat, seperti kekerasan,
kekuasaan, pandangan hidup dan sebagainya yang secara objektif sulit untuk
dideteksi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ratna
(2011: 35) bahwa karya sastra merupakan sebuah dunia miniatur yang
berfungsi sebagai inventarisasi kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan
dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi.
Karya sastra terutama
prosa menyuguhkan cerita yang dilakonkan tokoh-tokohnya. Gambaran kehidupan
tokoh tersebut disajikan dengan rangkaian cerita yang dilengkapi dengan
imajinasi pengarang. Novel merupakan karya sastra yang paling populer karena
lebih mudah dinikmati dan mempunyai daya komunikasi yang luas pada masyarakat
sehingga dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran dan dapat diambil manfaat
dan pelajaran dalam kehidupan untuk menjadikan hidup lebih baik. Untuk itu,
pengarang menawarkan berbagai permasalahan yang dilengkapi dengan imajinasi
agar terlahir karya prosa yang dapat dinikmati pembaca karena karya sastra
terbentuk dari apa yang dilihat, dirasakan, dialami, dan kemudian dikembangkan
dengan imajinasi oleh pengarang sesuai dengan realitas kehidupan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010: 5)
yang mengemukakan bahwa dunia fiksi menyajikan keyakinan dan pandangan
pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan secara nyata dan
sebenar-benarnya.
Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang
dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh
sekat-sekat kehidupan yang menimbulkan pandangan dan perilaku menyimpang
manusia. Salah satunya adalah terjadinya tindakan kekerasan dalam kehidupan
sosial masyarakat. Gejala kekerasan akhir-akhir ini sering
dijadikan bahan berita baik dalam pemberitaan media cetak maupun visual.
Informasi megenai perampokan, pemukulan, penganiyaan, bahkan pembunuhan
dilakukan tanpa melihat jenis kelamin, umur, waktu dan tempat, atau lingkungan
sosial. Tindak kekerasan ini bisa juga berupa penghinaan, perlakuan
diskriminatif, atau penerapan segregasi. Kekerasan terjadi disebabkan oleh
pelbagai faktor, antara lain ekonomi, ketidakharmonisan lingkungan keluarga,
kecemburuan sosial, dan kerakusan.
Tidak hanya terjadi di
dunia nyata, di dalam sebuah karya sastra juga sering mengangkat
fenomena-fenomena kekerasan baik verbal maupun nonverbal yang terjadi dalam
lingkungan sosial masyarakat maupun dalam lingkungan keluarga. Penggambaran
kekerasan dalam karya sastra dapat ditemukan sejak lama dalam karya sastra dunia.
Sebagai suatu lembaga sosial, kesusastraan mampu mengetengahkan
persoalan-persoalan kemanusiaan, khususnya kekerasan yang terjadi dalam
lingkungan keluarga. Pengungkapan yang dilakukan oleh pengarang bisa ditangkap
sebagai kritik sosial terhadap kehidupan di sekelilingnya, di samping sebagai
penghayatan akan mlai-nilai yang dianggap ideal, sekaligus pencerminan akan
suatu bentuk pemikiran atau ideologi, bahkan juga sebagai suatu terapi.
Kekerasan itu sendiri pun bentuknya bermacam-macam, dari yang eksplisit sampai
yang terselubung yang dilakukan oleh berbagai pihak. Pada dasarnya fenomena
kekerasan yang terjadi dalam karya sastra dianggap sebagai representasi
kehidupan yang memberikan nilai-nilai positif kepada pembaca untuk diilhami
dalam kehidupan.
Ziggy
Zezsyazeoviennazabrizkie merupakan salah satu pengarang muda kelahiran tahun
1992 yang telah menghasilkan karya dalam bentuk novel dengan kemasan pemakaian
bahasa yang mengesankan dalam mempresentasikan kehidupan. Di Tanah Lada
merupakan salah satu karya Ziggy yang masuk dalam kategori sebagai
pemenangke-II sayembara menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun
2014.
Novel Di Tanah Lada merupakan
salah satu novel yang mengangkat dan menggambarkan tentang kehidupan tokoh yang
mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orang tua. Perlakuan yang dialami
adalah tindak kekerasan dalam bentuk verbal yang dicerminkan lewat sudut
pandang anak kecil. Dari sudut pandang Salva yang berumur 6 tahun, kita bisa
melihat bagaimana mereka menghadapi hari-hari penuh tekanan. Kekerasan verbal
pada anak merupakan kasus yang sering muncul saat ini. Hal tersebut terjadi di
dalam keluarga dan sangat merugikan anak sebagai korbannya. Kekerasan dalam
bentuk verbal memang tersamarkan yang merupakan kekerasan yang tidak terlihat,
lembut, tidak dikenali, dan kealiman. Kekerasan dalam wujud verbal tersebut
dilakukan lebih pada penggunaan bahasa atau tintak tutur berupa kata-kata yang
mungkin sebagai pelampiasan emosi sehingga muncullah tindakan berbahasa yang
merupakan bagian dari tingkah laku manusiawi yang tak lain merupakan tindak
tutur kekerasan.
Menurut Baryadi (2012: 37) mengungkapkan ada empat jenis
tindak tutur kekerasan verbal, diantaranya tindak tutur kekerasan tidak
langsung, tindak tutur kekerasan langsung, tindak tutur represif, dan tindak
tutur alienatif. Tindak tutur kekerasan tidak langsung merupakan kekerasan
verbal yang tidak seketika itu juga mengenai korban, tetapi melalui media atau
proses berantai. Tindak tutur kekerasan lansung adalah tindak tutur kekerasan
yang langsung menimpa pada korban saat komunikasi verbal berlangsung. Tindak
tutur kekerasan alienatif merupakan tindak tutur yang menekan atau
mengintimidasi korban seprti memaksa, mengancan, mengata-ngatai, dsb. Tindak
tutur alienatif adalah tindak tutur yang bermaksud menjauhkan, mengasingkan,
atau bahkan melenyapkan korban dari komunitas atau masyarakatnya seperti mendiamkan,
mengusir, menjelek-jelekan, ataupun mempermalukan, dsb.
Fenomena
kekerasan verbal dalam novel tersebut menjadi menarik untuk dikaji, mengingat
begitu besar bahayanya kekerasan terhadap anak baik itu penghinaan, pelecehan
dan perendahan harga diri yang mengarahkan pada sebuah peristiwa yang
mengerikan, menakutkan, menyakitkan atau bahkan mematikan. Kekerasan pada
dasarnya merupakan tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) yang
memberikan tekanan intensif dengan tujuan merusak, menghukum, ataupun
mengontrol terhadap tindakan yang terjadi dalam kehidupan. Hal ini sejalan
dengan pemikiran Salmi (2005: 225) yang
mengatakan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang mengancam badan atau
psikis orang atau sekelompok orang dan datang dari berbagai bentuk.
Secara umum,
kekerasan verbal biasanya berupa perilaku verbal dimana
pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang
melecehkan. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse,
menyalahkan, melebeli, atau juga mengkambinghitamkan. Sejalan dengan pemikiran Sudaryanto dalam Baryadi (2012: 36) bahwa kekerasan verbal terwujud
dalam tindak tutur yang disebut sebagai tindak tutur kekerasan. Tindak tutur
kekerasan, selain dengan titi nada tinggi, juga ditandai dengan kelugasan
pengungkapan kata-kata yang menyakitkan hati (kata-kata jorok atau kata-kata
makian yang merendahkan pihak lain) lazim dikenal sebagai
“ucapan yang keras”, “bicaranya keras”, atau “kata-katanya pedas”, “omongannya
menyakitkan”, dan lan-lain.
Sara Mills
melihat sebuah wacana pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks.
Dalam artian siapa yang menjadi subyek dari penceritaan dan siapa yang menjadi
obyek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan makna
diperlakukan dalam teks secara keseluruhan (Darma:
2014). Terkait dengan posisi aktor dalam teks, maka yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana subyek-obyek menempatkan representasi sebagai
bagian terpenting. Dengan demikian hal ini mengarah kepada bagaimana satu
pihak, kelompok, orang, gagasan dan peristiwa direpresentasikan dengan teknik
tertentu dalam wacana dan menghadirkan makna kepada publik. Menurut Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis lebih
menekankan pada proses produksi dan reproduksi makna. Oleh karena itu, penulis
berusaha merepresentasikan teks berdasarkan latar belakang terciptanya karya,
dan apakah tujuan dari penyusunan karya tersebut. Terlebih pada latar belakang
sejarah dan ideologi pengarangnya.
Analisis wacana kritis
(AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa,
dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam
konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang
mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan
komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini
dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Ada tiga hal sentral dalam
pengertian teks, konteks, dan wacana (Arifin, 2012:
118). Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis ekspresi komunikasi yang ada
di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam hal ini, yaitu memasukkan
semua jenis situasi dan hal yang berada di luar
teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi,
serta fungsi yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks
dan teks secara bersama. Titik perhatiannya adalah analisis wacana
menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Bahasa sebagai medium dalam sastra
menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena merupakan aspek sentral dari
penggambaran suatu subjek. Dalam dunia sastra wacana melihat bahasa selalu
terlibat dalam hubungannya dengan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek
dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Kajian dalam
penelitian ini menggunakan teori Analisis Wacana kritis, karena sangat membantu
dalam menganalisis sebuah novel. Metode analisis wacana digunakan terhadap teks
yang terdapat dalam cerita novel. “Tujuannya untuk membongkar nilai ideologis
novel yang akan diteliti” (Triharyanto, 2009: 15). Model ini melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor
ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subyek
penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan yang menentukan bagaimana
struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan.
Selain posisi-posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian
pada bagaimana teks mengidentifikasikan dan menempatkan pembaca dalam
penceritaan (Eriyanto, 2009: 200).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar