BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya
sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada
penilaiannya (Wellek, 1989: 38). Berdasarkan istilah di atas, Wellek mengatakan bahwa kritik sastra itu
berarti penghakiman karya sastra. Hal serupa juga dikemukakan H.B Jassin (1985: 44-45) bahwa kritik sastra itu pertimbangan baik atau
buruk karya sastra, penerangan, dan penghakiman karya sastra. Hudson juga
mengemukakan bahwa istilah kritik sastra dalam artinya yang tajam adalah
penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu
kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memriksa karya sastra mengenai
kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pendapatnya mengenai hal
itu (Pradopo, 2002: 32).
Berdasarkan pendapat tersebut, kritik sastra
itu merupakan bidang studi sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk
memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya
sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan (dianalisis)
unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu per satu,
kemudian ditentukan berdasarkan hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai
ataukah kurang bernilai karya sastra itu.
Kritik Ganzheit membawa
psikologi Gestalt sebagai titik tolak. Titik tolak tersebut mengacu pada
totalitas yang terbentuk dari kesatuan elemen-elemen akan membentuk kualitas
baru yang tidak sama dengan unsurnya, yang dimaksud dengan totalitas disini
bukanlah dari elemen yang disusun satu persatu melainkan penghayatan yang
dilakuakan secara keseluruhan. Unsur-unsur tersebut secara dinamis melakukan
interferensi atau saling mempengaruhi yang akhirnya membentuk suatu kualitas
baru. Kualitas baru inilah yang nantinya ditangkap oleh pembaca yang menjadi
sebuah dasar untuk apresiasi kemudian resepsi dan kritik.
Prinsip kritik
Ganzheit, yaitu setiap penghayatan
adalah proses rekreasi atau penciptaan kembali karya yang dihayati, setiap
penghayatan bersifat unik karena sesutau yang kita anggap sangat bernilai pada
suatu titik akan menjadi sangat tidak
berarti dan sebaliknya, penghayatan merupakan sebuah pertemuan dinamis antara
manusia yang menghayati dengan objek yang berusaha untuk dihayati yang
membentuk sebuah dunia yang unik, Sastra bukan lagi sebagai Objek tapi sebagai
Subjek, menolak prinsip analitik yang menempatkan karya sastra sebagai cadaver karena mengutamakan analisis
sebelum ada penghayatan totalitas.
Dalam makalah ini kan dijelaskan lebih lanjut mengenai kritik sastrawan dan
metode Ganzheit.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan l atar belakang dan pembahasan masalah maka makalah ini
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut.
a. Bagaimana kritik sastrawan dan penerapannya?
b. Bagaimana Metode Ganzheit dan
penerapannya dalam karya sastra?
1.3 Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalaha
sebagai berikut.
a. Menjelaskan kritik sastrawan dan penerapannya.
b. Menjelaskan metode Ganzheit dan penerapannya dalam karya
sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kritik Sastrawan
Kritik sastrawan merupakan bagian
dari kritik sastra terapan. Kritik sastrawan bersifat objektif yang dilakukan
oleh seorang sastrawan pada karya sastra pada angkatan 1950-an. Kritik ini
mengulas mengenai pembicaraan sastra Indonesia secara umum dengan menunjukkan
penilaian yang secara umum dan tidak mendalam. Pada masa ini beberapa sastrawan
yang melakukan kritik antara lain Rustandi, Harijadi S. Hartowardojo. Kritik
ini dapat diterapkan dengan pengulasan biografi pengarang yang menyangkut
tanggal lahir, keluarga, sekolah, kegiatan-kegiatan seni beserta kegiatan
sastranya. Kemudian dikemukakan penilaian yang juga dihubungkan dengan
pengalaman hidup pengarang untuk membicarakan karyanya.
Setelah itu, karya sastra
dikritisi dengan orientasi ekspresif. Orientasi ekspresif dikolaborasikan
dengan orientasi obyektif sehingga keduanya saling bertalian. Pengarang sebagai
pencipta karya sastra menunangkan hasil imajinasi, kontemplasi dan
interpretasinya secara ekspresif. Pada orientasi obyektif, karya sastra
dipandang sebagai sesuatu yang utuh. Pengarang dan karyanya tidak terpisahkan
satu sama lain. Teknik pengkritikannya sangat sederhana. Dalam Pradopo (2002: 343)
menjelaskan bahwa teknik kritik sastrawan dimulai dengan penyingkatan cerita
kemudian diberi komentar secara singkat dan penilaian. Dalam kritik ini hanya
sedikit membicarakan tentang gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra dan
tidak menilai sama sedikitpun mengenai segi struktur. Contoh penerapan pada
karya sastra mengenai kritik sastrawan ini dapat diterapkan pada sebuah novel
berjudul Rabu Rasa Sabtu karya Arswendo Atmowiloto berikut.
KRITIK SASTRAWAN DALAM NOVEL RABU RASA SABTU
KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
Arswendo Atmowiloto lahir di Surakarta
pada 26 November
1948. Nama
aslinya adalah Sarwendo. Nama
itu diubahnya menjadi Arswendo
karena dianggap kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya
ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto. Arswendo menjadi penulis dan wartawan Indonesia
yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS.
Karya-karyanya banyak menjadi sumbangsih dalam kesusastraan Indonesia. Salah
satu karya terbarunya yakni novel Rabu
Rasa Sabtu yang diterbitkan 2015 lalu.
Sebuah novel yang terkesan begitu nakal dan berbeda
jauh dari karya-karya sebelumnya yang pernah diterbitkan seperti Keluarga Cemara maupun Canting. Rabu Rasa Sabtu membuat pembaca menjadi tertawa, terhenyak, bahkan
terisak. Tema yang diangkat cukup berat yakni tentang kematian. Namun demikian,
Arswendo berusaha memberi tahu bahwa kematian sesuatu yang sepele bahkan
seolah-olah dapat dikendalikan oleh manusia. Oleh karenanya, kehidupan yang ada
jalani saja. Demikian halnya dengan persoalan norma, Arswendo menggambarkan
dengan begitu ekspresif dan cukup vulgar mengenai tata cara menggauli orang
sakit yang hampir sekarat beserta percintaan yang tidak terduga.
2.2 Metode Ganzheit
Metode Ganzheit aliran
psikologi Gestalt yang menyatakan bahwa suatu keseluruhan/totalitas memiliki
kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua elemen-elemennya (Ali dalam
Heriyanto, 1985: 416).
Sebuah kata tanpa disadari ada sebuah huruf yang hilang atau salah cetak.
Sebuah wajah secara intim sekali, tapi
bila pada suatu saat timbul pertanyaan bagaimana bentuk bibir atau hidup dari
wajah tersebut secara tepat,maka akan cukup kesulitan untuk mencoba
merekonstruksi kembali
bentuk-bentuk bibir atau hidung yang dinyatakan tersebut. Bahkan kemungkinan
besar akan gagal
untuk memenuhi permintaan itu. Padahal, sudah benar-benar kenal dengan wajah
tersebut.
Sebuah lagu yang
benar-benar didengar dapat kita lagukan satu demi satu nada-nadanya sambil setengah
tertidur. Cobalah nada-nada dari lagu yang telah kita kenal
benar itu, kita susun secara terbalik, dari belakang ke permulaan. Maka akan
kita dapati betapa susah melakukan hal ini dan kemungkinan besar kita gagal
sama sekali. Pada hal kita sudah benar-benar kenal lagu itu. Semua ini karena
pada hakekatnya, yang kita hayati ialah sebuah totalitas. Sebuah totalitas
bukanlah elemen yang kita susun satu per satu.
Sebuah totalitas langsung kita hayati sebagai keseluruhan, bukan melalui
penghayatan elemen-elemennya satu per satu.
Metode kritik seni
Ganzheit sebenarnya telah dijalankan secara hampir sempurna pada musik. Pada
musik, penghayatan total lebih mudah terjadi karena elemen-elemen musik adalah
rangsang-rangsang "abstrak" yang tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu, dalam menghadapi sebuah
karya seni musik, orang secara spontan melakukan approach yang langsung menuju
kepada penghayatan total dan bukan melalui penghayatan elemen. Sehingga demikian, terjadi sebuah
interferensi dinamis dan baru sesudah selesai mendengarkan seluruh lagu itu,
dia berkata "aku suka" atau "aku tidak suka” (Arief dalam
Heriyanto, 1985: 420).
Metode kritik Ganzheit
merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritikus terhadap karya seni
yang dihadapinya. Mula-mula sang
kritikus membiarkan karya seninya secara merdeka berbicara sendiri. Kemudian
terjadilah sebuah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara
kedua subyek yang hidup di dalamnya.
Sebuah proses refleksi dan analisa. Elemen-elemen
menjadi "terang dan jelas" dalam hubungannya dengan penyatuan
keseluruhan tersebut. Elemen-elemen itu mendapatkan nilainya dari penyatuan
total tersebut. Elemen-elemen yang tadinya tampak kaku-beku, setelah terjadi
sebuah interferensi dinamis, seakan-akan mencair dan menjadi hidup penuh
warna-warni (Arief dalam Heriyanto, 1985: 424-425).
Pada saat sang kritikus
menuliskan pengalaman-pengalamannya ini, maka lahirlah sebuah kritik seni yang
merupakan hasil sebuah percintaan atau sebuah persengketaan antara seorang
manusia dan sebuah karya seni. Sebuah percintaan atau sebuah persengketaan. Ini
berarti hanya karya-karya seni tertentu saja
yang dapat membuat sang kritikus tergerak. Ini berlainan sekali dengan metode
kritik yang analitis.
Sebuah kritik sastra
yang analitis dapat saja membuat kritik dan membanding-bandingkannya dengan
karya seni lain, karena dalam metode ini sudah ada konsepsi-konsepsi universal yang dapat (dipaksakan) diterapkan kepada
semua karya seni. Apalagi dalam
kritik sastra analitis sang kritikus bersikap pasif dalam partisipasinya secara
penuh sebagai pribadi dan merdeka. Sang kritikus aktif dalam menggunakan
"alat-alat bedahnya", tapi sangat kurang dalam melibatkan dirinya
sendiri (Arief dalam Heriyanto, 1985: 425).
Jadi pada hakekatnya,
metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengembalikan kritik seni
kepada manusia konkrit dan menolak penggunaan alat-alat yang memakai prinsip
mekanistis yang universal. Artinya
metode ini menghilangkan kaidah analisa per bagian dari suatu karya sastra
namun secara umum. Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang
mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan mengakui dunia merdeka yang hidup
dari manusia-manusia yang menghayati. Metode Ganzheit dalam kritik seni sebagai interferensi
dinamis dari keduanya.
Sastrawan yang menggunakan metode kritik Ganzheit adalah Goenawan Mohamad
(Sutisna Adji) yang mengkonsepkan bahwa karya sastra harus dipandang secara
keseluruhan. Ganzheit dalam istilah lain adalah suasana hati penyair maupun
pengarang. Berdasarkan teori Ganzheit tersebut, Goenawan mengkritik karya
sastra kumpulan puisi milik Sapardi Djoko Damono. Tipe kritik Goenawan adalah
kritik ekspresif. Dalam kritik ekspresif, yang menjadi subyek bukan karya
sastra melainkan sastrawan. Keseluruhan atau Ganzheit dari suasana hati
sastrawan. Hal ini yang membedakan dengan metode strukturalisme yang berspektif
obyektif (karya sastra itu sendiri).
Setelah mengupas mengenai keseluruhan kumpulan sajak secara keseluruhan,
dengan analisis yang menyeluruh, kemudian Goenawan mengupas satu persatu sajak
yang terdapat pada kumpulan puisi Sapardi sebagai bagian dari suasana hati.
Dalam analisisnya, Goenawan tidak menganalisis secara analitik melainkan
mengambil satuan besar yang utuh sebagai gambaran dari suasana hati yang dibicarakan.
Analisis dapat berupa bunyi dalam sajak namun hanya inti saja.
Contoh
analisis metode Ganzheit antara lain sebagai berikut
SIAPA AKU
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernapas di
detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah-celah kataku
Mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
Siapa Aku
(1968)
Sajak tersebut
adalah salah satu sajak yang paling orisinal dari Sapardi Djoko Damono. Kendati
pertanyaan besar “siapa aku” sering kita jumpai, dengan segala pretensi
kefilsafatan ataupun ketasawufan semacam banyak yang terkandung dalam pelbagai
karya mistik Jawa, dalam sajak tersebut pertanyaan itu lebih merupakan puncak
kegelisahan di tengah misteri. Tak ada
tanda tanya sebuah pun di sana, tetapi ia tetap sesuatu yang kejang
meraih jawaban: baris demi baris tidak sekedar resah yang menuju ke arah
klimaks. Setiap kali langkah itu terasa kaget dan termangu: kita dengar suara
keras konsonan-konsonan yang kemudian tiba-tiba tersentak, disusul vokal “u”
pada setiap ujung dan pertanyaan itu belum terjawab, hanya berakhir dengan
kekosongan yang sama. Dan tanda pun akan terasa sebagai sesuatu yang
berlebihan. Adakah kita sia-sia?
(Goenawan dalam Pradopo, 2002: 352)
Contoh kedua
adalah analisis puisi dengan metode Ganzeit berjudul Apakah Maknanya karya
Sutan Takdir Alisjahbana.
APAKAH MAKNANYA
Ani, Aniku, dimana Engkau?
Suaramu masih kudengar,
Rupamu masih kulihat,
Ke mana melangkah engkau mengikut.
Ani, Ani, mari ke mari!
Kamas hendak meninjau matamu,
Setia dalam melihat padaku,
Mana suaramu, mana gelakmu?
Ya Allah, ya Tuhanku,
Langkah lekas kau ambil,
Kau renggutkan dari sisiku.
Apakah dosa maka begini,
Apa maknanya, apa gunanya,
Ganas demikian menimpa diri?
20 April 1935
(Alisjahbana, 2008:
4)
Sebuah karya puisi yang begitu menyentuh, puisi STA berjudul Apakah Maknanya menggambarkan suasana hati kehilangan
mendalam yang dialami pengarang. Puisi tersebut adalah puncak kesedihan
berpulangnya sosok istri yang sangat dicinta. Dua bait pertama menggambarkan
pencarian yang sia-sia tanpa arti. Ketidakridhaan
pengarang dalam bait berikutnya menimbulkan keegoisan dan ketidakrealistisannya
dalam hidup. Pikiran dan batinnya semakin kacau dengan gambaran kalimat pada
bait terakhir yang ia tanyakan ‘apakah dosa’ yang menganggap bahwa kehilangan
adalah sebuah hukuman terberat dari Tuhan. Dominasi bunyi vokal “u” dan “i” mengakibatkan
puisi tersebut tampak riang dan berupaya untuk menghibur diri dan tegar akan takdir
yang terjadi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan diantaranya sebagai berikut.
a. Kritik sastrawan adalah bagian
dari kritik sastra terapan yang bersifat objektif.
b.
Cara dalam melakukan kritik sastrawan dapat bermula
dari penceritaan sekilas mengenai biografi pengarang kemudian mengkritik
berdasarkan perspektif ekspresif (pengarang) dan obyektif (karya itu sendiri)
dan tidak secara mendalam.
c.
Metode Ganzheit berhubungan dengan totalitas sebuah
karya sastra.
d.
Penerapan metode Ganzheit dilakukan dengan menyoroti
secara menyeluruh karya sastra secara ekspresif untuk mendapatkan gambaran
suasana hati pengarang.
3.2 Saran
Dalam menerapkan kritik sastrawan benar-benar harus memperhatikan
aspek-aspek yang dititikberatkan pada orientasi sastrawan dan karyanya. Kritik
yang dilakukan tidak perlu secara mendalam. Demikian halnya dengan penerapan
metode Ganzheit hendaknya dilakukan
secara totalitas dalam karya sastra itu dengan pendekatan ekspresif untuk
memperoleh suasana hati yang terdapat dalam karya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar