Selasa, 18 April 2017

Kritik Sastrawan dan Metode Ganzheit



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya (Wellek, 1989: 38). Berdasarkan istilah di atas, Wellek mengatakan bahwa kritik sastra itu berarti penghakiman karya sastra. Hal serupa juga dikemukakan H.B Jassin (1985: 44-45) bahwa kritik sastra itu pertimbangan baik atau buruk karya sastra, penerangan, dan penghakiman karya sastra. Hudson juga mengemukakan bahwa istilah kritik sastra dalam artinya yang tajam adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pendapatnya mengenai hal itu (Pradopo, 2002: 32).
Berdasarkan pendapat tersebut,  kritik sastra itu merupakan bidang studi sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu per satu, kemudian ditentukan berdasarkan hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai ataukah kurang bernilai karya sastra itu.
Kritik Ganzheit membawa psikologi Gestalt sebagai titik tolak. Titik tolak tersebut mengacu pada totalitas yang terbentuk dari kesatuan elemen-elemen akan membentuk kualitas baru yang tidak sama dengan unsurnya, yang dimaksud dengan totalitas disini bukanlah dari elemen yang disusun satu persatu melainkan penghayatan yang dilakuakan secara keseluruhan. Unsur-unsur tersebut secara dinamis melakukan interferensi atau saling mempengaruhi yang akhirnya membentuk suatu kualitas baru. Kualitas baru inilah yang nantinya ditangkap oleh pembaca yang menjadi sebuah dasar untuk apresiasi kemudian resepsi dan kritik.
Prinsip kritik Ganzheit, yaitu  setiap penghayatan adalah proses rekreasi atau penciptaan kembali karya yang dihayati, setiap penghayatan bersifat unik karena sesutau yang kita anggap sangat bernilai pada suatu  titik akan menjadi sangat tidak berarti dan sebaliknya, penghayatan merupakan sebuah pertemuan dinamis antara manusia yang menghayati dengan objek yang berusaha untuk dihayati yang membentuk sebuah dunia yang unik, Sastra bukan lagi sebagai Objek tapi sebagai Subjek, menolak prinsip analitik yang menempatkan karya sastra sebagai cadaver karena mengutamakan analisis sebelum ada penghayatan totalitas. Dalam makalah ini kan dijelaskan lebih lanjut mengenai kritik sastrawan dan metode Ganzheit.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan l atar belakang dan pembahasan masalah maka makalah ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut.
a.       Bagaimana kritik sastrawan dan penerapannya?
b.      Bagaimana Metode Ganzheit dan penerapannya dalam karya sastra?

1.3  Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalaha sebagai berikut.
a.       Menjelaskan kritik sastrawan dan penerapannya.
b.      Menjelaskan metode Ganzheit dan penerapannya dalam karya sastra.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kritik Sastrawan
Kritik sastrawan merupakan bagian dari kritik sastra terapan. Kritik sastrawan bersifat objektif yang dilakukan oleh seorang sastrawan pada karya sastra pada angkatan 1950-an. Kritik ini mengulas mengenai pembicaraan sastra Indonesia secara umum dengan menunjukkan penilaian yang secara umum dan tidak mendalam. Pada masa ini beberapa sastrawan yang melakukan kritik antara lain Rustandi, Harijadi S. Hartowardojo. Kritik ini dapat diterapkan dengan pengulasan biografi pengarang yang menyangkut tanggal lahir, keluarga, sekolah, kegiatan-kegiatan seni beserta kegiatan sastranya. Kemudian dikemukakan penilaian yang juga dihubungkan dengan pengalaman hidup pengarang untuk membicarakan karyanya.
Setelah itu, karya sastra dikritisi dengan orientasi ekspresif. Orientasi ekspresif dikolaborasikan dengan orientasi obyektif sehingga keduanya saling bertalian. Pengarang sebagai pencipta karya sastra menunangkan hasil imajinasi, kontemplasi dan interpretasinya secara ekspresif. Pada orientasi obyektif, karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang utuh. Pengarang dan karyanya tidak terpisahkan satu sama lain. Teknik pengkritikannya sangat sederhana. Dalam Pradopo (2002: 343) menjelaskan bahwa teknik kritik sastrawan dimulai dengan penyingkatan cerita kemudian diberi komentar secara singkat dan penilaian. Dalam kritik ini hanya sedikit membicarakan tentang gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra dan tidak menilai sama sedikitpun mengenai segi struktur. Contoh penerapan pada karya sastra mengenai kritik sastrawan ini dapat diterapkan pada sebuah novel berjudul Rabu Rasa Sabtu karya Arswendo Atmowiloto berikut.
 
KRITIK SASTRAWAN DALAM NOVEL RABU RASA SABTU
KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO

Arswendo Atmowiloto lahir di Surakarta pada 26 November 1948. Nama aslinya adalah Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggap kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto. Arswendo menjadi penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS. Karya-karyanya banyak menjadi sumbangsih dalam kesusastraan Indonesia. Salah satu karya terbarunya yakni novel Rabu Rasa Sabtu yang diterbitkan 2015 lalu.
Sebuah novel yang terkesan begitu nakal dan berbeda jauh dari karya-karya sebelumnya yang pernah diterbitkan seperti Keluarga Cemara maupun Canting. Rabu Rasa Sabtu membuat pembaca menjadi tertawa, terhenyak, bahkan terisak. Tema yang diangkat cukup berat yakni tentang kematian. Namun demikian, Arswendo berusaha memberi tahu bahwa kematian sesuatu yang sepele bahkan seolah-olah dapat dikendalikan oleh manusia. Oleh karenanya, kehidupan yang ada jalani saja. Demikian halnya dengan persoalan norma, Arswendo menggambarkan dengan begitu ekspresif dan cukup vulgar mengenai tata cara menggauli orang sakit yang hampir sekarat beserta percintaan yang tidak terduga.  

2.2 Metode Ganzheit
Metode Ganzheit aliran psikologi Gestalt yang menyatakan bahwa suatu keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua elemen-elemennya (Ali dalam Heriyanto, 1985: 416). Sebuah kata tanpa disadari  ada sebuah huruf yang hilang atau salah cetak. Sebuah wajah secara intim sekali, tapi bila pada suatu saat timbul pertanyaan bagaimana bentuk bibir atau hidup dari wajah tersebut secara tepat,maka akan cukup kesulitan untuk mencoba merekonstruksi kembali bentuk-bentuk bibir atau hidung yang dinyatakan tersebut. Bahkan kemungkinan besar akan gagal untuk memenuhi permintaan itu. Padahal, sudah benar-benar kenal dengan wajah tersebut.
Sebuah  lagu yang benar-benar didengar dapat kita lagukan satu demi satu nada-nadanya sambil setengah tertidur. Cobalah  nada-nada dari lagu yang telah kita kenal benar itu, kita susun secara terbalik, dari belakang ke permulaan. Maka akan kita dapati betapa susah melakukan hal ini dan kemungkinan besar kita gagal sama sekali. Pada hal kita sudah benar-benar kenal lagu itu. Semua ini karena pada hakekatnya, yang kita hayati ialah sebuah totalitas. Sebuah totalitas bukanlah elemen yang kita susun satu per satu. Sebuah totalitas langsung kita hayati sebagai keseluruhan, bukan melalui penghayatan elemen-elemennya satu per satu.
Metode kritik seni Ganzheit sebenarnya telah dijalankan secara hampir sempurna pada musik. Pada musik, penghayatan total lebih mudah terjadi karena elemen-elemen musik adalah rangsang-rangsang "abstrak" yang tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu, dalam menghadapi sebuah karya seni musik, orang secara spontan melakukan approach yang langsung menuju kepada penghayatan total dan bukan melalui penghayatan elemen. Sehingga demikian, terjadi sebuah interferensi dinamis dan baru sesudah selesai mendengarkan seluruh lagu itu, dia berkata "aku suka" atau "aku tidak suka” (Arief dalam Heriyanto, 1985: 420).
Metode kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritikus terhadap karya seni yang dihadapinya. Mula-mula sang kritikus membiarkan karya seninya secara merdeka berbicara sendiri. Kemudian terjadilah sebuah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara kedua subyek yang hidup di dalamnya. Sebuah proses refleksi dan analisa. Elemen-elemen menjadi "terang dan jelas" dalam hubungannya dengan penyatuan keseluruhan tersebut. Elemen-elemen itu mendapatkan nilainya dari penyatuan total tersebut. Elemen-elemen yang tadinya tampak kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi dinamis, seakan-akan mencair dan menjadi hidup penuh warna-warni (Arief dalam Heriyanto, 1985: 424-425).
Pada saat sang kritikus menuliskan pengalaman-pengalamannya ini, maka lahirlah sebuah kritik seni yang merupakan hasil sebuah percintaan atau sebuah persengketaan antara seorang manusia dan sebuah karya seni. Sebuah percintaan atau sebuah persengketaan. Ini berarti hanya karya-karya seni tertentu saja yang dapat membuat sang kritikus tergerak. Ini berlainan sekali dengan metode kritik yang analitis.
Sebuah kritik sastra yang analitis dapat saja membuat kritik dan membanding-bandingkannya dengan karya seni lain, karena dalam metode ini sudah ada konsepsi-konsepsi universal yang dapat (dipaksakan) diterapkan kepada semua karya seni. Apalagi dalam kritik sastra analitis sang kritikus bersikap pasif dalam partisipasinya secara penuh sebagai pribadi dan merdeka. Sang kritikus aktif dalam menggunakan "alat-alat bedahnya", tapi sangat kurang dalam melibatkan dirinya sendiri (Arief dalam Heriyanto, 1985: 425).
Jadi pada hakekatnya, metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengembalikan kritik seni kepada manusia konkrit dan menolak penggunaan alat-alat yang memakai prinsip mekanistis yang universal. Artinya metode ini menghilangkan kaidah analisa per bagian dari suatu karya sastra namun secara umum. Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan mengakui dunia merdeka yang hidup dari manusia-manusia yang menghayati. Metode Ganzheit dalam kritik seni sebagai interferensi dinamis dari keduanya.
Sastrawan yang menggunakan metode kritik Ganzheit adalah Goenawan Mohamad (Sutisna Adji) yang mengkonsepkan bahwa karya sastra harus dipandang secara keseluruhan. Ganzheit dalam istilah lain adalah suasana hati penyair maupun pengarang. Berdasarkan teori Ganzheit tersebut, Goenawan mengkritik karya sastra kumpulan puisi milik Sapardi Djoko Damono. Tipe kritik Goenawan adalah kritik ekspresif. Dalam kritik ekspresif, yang menjadi subyek bukan karya sastra melainkan sastrawan. Keseluruhan atau Ganzheit dari suasana hati sastrawan. Hal ini yang membedakan dengan metode strukturalisme yang berspektif obyektif (karya sastra itu sendiri).
Setelah mengupas mengenai keseluruhan kumpulan sajak secara keseluruhan, dengan analisis yang menyeluruh, kemudian Goenawan mengupas satu persatu sajak yang terdapat pada kumpulan puisi Sapardi sebagai bagian dari suasana hati. Dalam analisisnya, Goenawan tidak menganalisis secara analitik melainkan mengambil satuan besar yang utuh sebagai gambaran dari suasana hati yang dibicarakan. Analisis dapat berupa bunyi dalam sajak namun hanya inti saja.
Contoh analisis metode Ganzheit antara lain sebagai berikut

SIAPA AKU

Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernapas  di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah-celah kataku
Mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
Siapa Aku

(1968)

 Sajak tersebut adalah salah satu sajak yang paling orisinal dari Sapardi Djoko Damono. Kendati pertanyaan besar “siapa aku” sering kita jumpai, dengan segala pretensi kefilsafatan ataupun ketasawufan semacam banyak yang terkandung dalam pelbagai karya mistik Jawa, dalam sajak tersebut pertanyaan itu lebih merupakan puncak kegelisahan di tengah misteri. Tak ada  tanda tanya sebuah pun di sana, tetapi ia tetap sesuatu yang kejang meraih jawaban: baris demi baris tidak sekedar resah yang menuju ke arah klimaks. Setiap kali langkah itu terasa kaget dan termangu: kita dengar suara keras konsonan-konsonan yang kemudian tiba-tiba tersentak, disusul vokal “u” pada setiap ujung dan pertanyaan itu belum terjawab, hanya berakhir dengan kekosongan yang sama. Dan tanda pun akan terasa sebagai sesuatu yang berlebihan. Adakah kita sia-sia?   (Goenawan dalam Pradopo, 2002: 352)
Contoh kedua adalah analisis puisi dengan metode Ganzeit berjudul Apakah Maknanya karya Sutan Takdir Alisjahbana.

APAKAH MAKNANYA

Ani, Aniku, dimana Engkau?
Suaramu masih kudengar,
Rupamu masih kulihat,
Ke mana melangkah engkau mengikut.

Ani, Ani, mari ke mari!
Kamas hendak meninjau matamu,
Setia dalam melihat padaku,
Mana suaramu, mana gelakmu?

Ya Allah, ya Tuhanku,
Langkah lekas kau ambil,
Kau renggutkan dari sisiku.

Apakah dosa maka begini,
Apa maknanya, apa gunanya,
Ganas demikian menimpa diri?

20 April 1935
 (Alisjahbana, 2008: 4)

Sebuah karya puisi yang begitu menyentuh, puisi STA berjudul Apakah Maknanya  menggambarkan suasana hati kehilangan mendalam yang dialami pengarang. Puisi tersebut adalah puncak kesedihan berpulangnya sosok istri yang sangat dicinta. Dua bait pertama menggambarkan pencarian yang sia-sia tanpa arti. Ketidakridhaan pengarang dalam bait berikutnya menimbulkan keegoisan dan ketidakrealistisannya dalam hidup. Pikiran dan batinnya semakin kacau dengan gambaran kalimat pada bait terakhir yang ia tanyakan ‘apakah dosa’ yang menganggap bahwa kehilangan adalah sebuah hukuman terberat dari Tuhan. Dominasi bunyi vokal “u” dan “i” mengakibatkan puisi tersebut tampak riang dan berupaya untuk menghibur diri dan tegar akan takdir yang terjadi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut.
a.       Kritik sastrawan adalah bagian dari kritik sastra terapan yang bersifat objektif.
b.      Cara dalam melakukan kritik sastrawan dapat bermula dari penceritaan sekilas mengenai biografi pengarang kemudian mengkritik berdasarkan perspektif ekspresif (pengarang) dan obyektif (karya itu sendiri) dan tidak secara mendalam.
c.       Metode Ganzheit berhubungan dengan totalitas sebuah karya sastra.
d.      Penerapan metode Ganzheit dilakukan dengan menyoroti secara menyeluruh karya sastra secara ekspresif untuk mendapatkan gambaran suasana hati pengarang.

3.2 Saran
Dalam menerapkan kritik sastrawan benar-benar harus memperhatikan aspek-aspek yang dititikberatkan pada orientasi sastrawan dan karyanya. Kritik yang dilakukan tidak perlu secara mendalam. Demikian halnya dengan penerapan metode Ganzheit  hendaknya dilakukan secara totalitas dalam karya sastra itu dengan pendekatan ekspresif untuk memperoleh suasana hati yang terdapat dalam karya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template Makalah (Non Penelitian)

JUDUL  (Judul Artikel Ditulis dengan Font Times New Roman 14, Maksimum 14 Kata untuk Bahasa Indonesia dan 12 Kata untuk Bahasa Inggris,)    ...