Rabu, 26 April 2017

SINOPSIS NOVEL API AWAN ASAP

Judul : Api Awan Asap
Penulis : Korrie Layun Rampan
Penerbit : Grasindo
Tebal Buku : 176 Halaman
ISBN : 97860203750009

Novel Api Awan Asap karya Korrie Layun Rampan menceritakan mengenai percintaan, kesetiaan, dan berbicara tentang alam sekitarnya yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Dayak. Cerita tersebut digambarkan oleh tiga orang tokohnya, yakni Nori, Jue, dan Sakatn yang hidup dalam latar komunitas suku Dayak Benuaq, yakni desa Dempar pedalaman Kalimantan Timur. Permasalahan dalam kehidu-pan ketiga tokoh tersebut dikisahkan dengan alur kilas balik (flashback) sehingga berbagai konflik terjadi dan terlihat pada akhir ceritanya. Ketiga fakta cerita tersebut, yakni tokoh, latar, dan alur sebagai pendukung tema cerita sehingga terjalin keutuhan cerita.
Novel Api Awan Asap mengkisahkan penantian seorang perempuan bernama Nori yang kehilangan suaminya, Jue, selama dua puluh tahun. Mulanya di sebuah kawasan, tepi Sungai Nyawatan, penduduk membangun lou (betang, rumah panjang). Dari lou itu, dua sahabat -Jue dan Sakatn- setelah menempuh perjalanan 300 kilometer, memasuki gua untuk mengambil sarang burung walet. Jue yang baru sebulan menikahi Nori, putri Petinggi Jepi, bertugas masuk ke dalam gua sambil pinggangnya diikat dengan tali plastik; sementara Sakatn menunggu di luar. Dari sinilah Jue menghilang entah kemana. Berhari-hari, bermingu-minggu bahkan sebulan semua penduduk Desa mencari Jue, namun hasilnya nihil dan Jue pun dianggap telah hilang jejak dalam gua tersebut.
Jue menghilang sebulan setelah pelaksanaan pesta pernikahannya dengan Nori. Selama dua puluh tahun itu, Nori sebagai seorang istri merelahkan sebagian masa hidupnya menanti kedatangan suaminya kembali, walaupun ia sendiri merasa tidak yakin apakah suaminya masih dalam keadaan hidup atau telah tiada. Penantiannya itu didedikasikan sebagai wujud kesetiaan seorang perempuan sebagai istri kepada suaminya. Sebenarnya, sudah banyak laki-laki yang datang melamar untuk menjadikannya istri, tetapi Nori tetap pada pendiriannya karena ia merasa masih terikat perkawinan dengan Jue, suaminya.
Seiring berjalannya waktu Sakatn ingin meminang Nori yang berstatus janda sebagai istrinya. Di antara sekian banyak lelaki yang ingin memperistri Nori, Sakatn adalah lelaki yang sejak lama menaruh hati pada Nori. Dahulu, Sakatn adalah teman sepermainan Nori dan Jue semasa kecil. Mereka bersahabat semenjak kanak-kanak hingga beranjak dewasa. Ketika Sakatn memiliki perasaan tertarik kepada Nori, Jue, sahabatnya, lebih dahulu mempersunting Nori untuk dijadi kan istrinya. Nori menerima lamaran Jue, sedangkan Sakatn mengalah demi persahabatan mereka bertiga. Kemudian, setelah Jue hilang di dalam sebuah gua ketika sedang mencari sarang burung wallet menyebabkan Nori menjadi janda, barulah Sakatn memberanikan diri meminang Nori. Setelah sekian lama dengan berbagai kisah perjalanan hidup yang dilewati, akhirnya Sakatn memberanikan diri untuk melamar secara adat dengan membawa seserahan yang begitu banyaknya. Nori pun akhirnya menerima lamaran itu. Akhirnya mereka melangsungkan acara lamaran sesuai dengan budaya setempat yang mereka yakini dengan disaksikan seluruh masyarakat desa Dempar.
Kisah ini pun tidak berjalan mulus, harus membutuhkan perjuangan yang besar untuk memperistri Nori. Meskipun demikian akhirnya Nori pun menerima lamaran Sakatan dengan berbagai syarat yang harus Sakatn penuhi. Pesta pernikahan berlangsung sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, namun pernikahan tersebut dinodai dengan Pune, anak Nori dan Jue, yang terjatuh saat membawa darah kerbau sebagai ritual terakhir dari prosesi pernikahan ibunya. Putri Nori dari bibit Jue, tiba-tiba terperosok dalam sebuah lubang aneh. Kakinya terasa dipegang orang dari bawah tanah. Orang-orang mengira yang mencekal kaki Pune adalah hantu tanah. Namun, setelah khalayak ramai-ramai menarik Pune dari longsoran tanah, tiba-tiba muncul seseorang seperti manusia purba ke permukaan tanah. Badannya putih pucat karena tak pernah kena sinar matahari, rambutnya panjang melewati tumit, dan matanya sipit. Tak ada yang bisa mengidentifikasi bahwa manusia tanah yang dikira tonoy itu adalah Jue, kecuali Nori dan Petinggi Jepi. Lalu, cerita mengalami kilas balik ke masa lalu, saat Nori masih remaja dan menikah dengan Jue suami dan cinta sejatinya yang hilang dalam gua.
Selama nyaris dua puluh tahun Nori menjanda, membesarkan anaknya, juga memajukan desanya. Tidak sebersit pun ia menanggapi lamaran Sakatn yang tak henti datang menghampirinya. Nori pun dibuat bimbang dengan tawaran pernikahan ini. Apalagi, sebenarnya ia masih berharap bahwa Jue--entah bagaimana ceritanya--masih hidup. Cinta Nori begitu besar kepada Jue meskipun hanya sempat bersama dengannya satu bulan saja. Perkawinan Nori dengan Jue terasa begitu indah, walaupun hanya sebulan kebahagiaan itu dinikmatinya. Cintanya pada Jue, membuat Nori merelakan sepanjang hidupnya hanya pasrah dan menunggu kedatangan Jue. Sebagai seorang istri, Nori menerima dan menjalani peran kulturnya menjadi istri yang baik dan setia.
Selain kisah percintaan tersebut, cerita tentang lingkungan dan budaya suku Dayak Benuaq disajikan di sini. Ayah Nori adalah seorang tetua adat, dimana posisinya selain sebagai seorang pemimpin juga bertanggung jawab seputar apa yang terjadi dengan hutan yang sudah turun menurun mereka jaga. Keberadaan orang-orang kota, dengan surat-surat yang menyatakan tentang klaim kepemilikan dan penguasaan hutan menjadi ancaman. Belum lagi, asap membumbung karena mereka tidak paham bagaimana proses pengelolaan hutan dengan baik dan benar.
Di sebuah kawasan, tepi Sungai Nyawatan, pendudsuk membangun lou (betang, rumah panjang). Dari lou itu, dua sahabat -Jue dan Sakatn- setelah menempuh perjalanan 300 kilometer, memasuki gua untuk mengambil sarang burung walet. Jue yang baru sebulan menikahi Nori, putri Petinggi Jepi, bertugas masuk ke dalam gua sambil pinggangnya diikat dengan tali plastik; sementara Sakatn menunggu di luar. Karena diam-diam Sakatn juga mencintai Nori, Sakatn lalu mengerat tali plastik itu. Akibatnya, Jue tersesat dalam gua yang gulita.

Selasa, 18 April 2017

Representasi Kekerasan Verbal pada Novel Di Tanah Lada Karya Ziggy Zezsyavionnasabrizkie

Karya sastra dilahirkan dari sebuah imajinasi yang diekspresikan seorang pengarang. Pegarang berusaha menyampaikan pengalaman, perasaan, ide, dan semangatnya melalui karya sastra yang diciptakan. Pengarang bertujuan agar pembaca dapat memahami dan mengapresiasi apa yang disampaikannya. Karya sastra yang mudah dipahami dan digemari adalah prosa yang biasa disebut fiksi. Fiksi dikenal dengan kisah khayalan, imajinatif, bersifat rekaan yang bertujuan memberikan hiburan. Karya sastra sebagai refleksi dari realitas kehidupan memiliki problematika yang beragam. Hal tersebut yang menjadikan karya sastra dikatakan sebagai karya fiksi yang mengungkap berbagai persoalan dalam kehidupan. Kemampuan karya sastra dalam merepresentasikan realitas hidup memudahkan kita untuk menentukan berbagai kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat, seperti kekerasan, kekuasaan, pandangan hidup dan sebagainya yang secara objektif sulit untuk dideteksi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ratna (2011: 35) bahwa karya sastra merupakan sebuah dunia miniatur yang berfungsi sebagai inventarisasi kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi.
Karya sastra terutama prosa menyuguhkan cerita yang dilakonkan tokoh-tokohnya. Gambaran kehidupan tokoh tersebut disajikan dengan rangkaian cerita yang dilengkapi dengan imajinasi pengarang. Novel merupakan karya sastra yang paling populer karena lebih mudah dinikmati dan mempunyai daya komunikasi yang luas pada masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran dan dapat diambil manfaat dan pelajaran dalam kehidupan untuk menjadikan hidup lebih baik. Untuk itu, pengarang menawarkan berbagai permasalahan yang dilengkapi dengan imajinasi agar terlahir karya prosa yang dapat dinikmati pembaca karena karya sastra terbentuk dari apa yang dilihat, dirasakan, dialami, dan kemudian dikembangkan dengan imajinasi oleh pengarang sesuai dengan realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010: 5) yang mengemukakan bahwa dunia fiksi menyajikan keyakinan dan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan secara nyata dan sebenar-benarnya.
 Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat kehidupan yang menimbulkan pandangan dan perilaku menyimpang manusia. Salah satunya adalah terjadinya tindakan kekerasan dalam kehidupan sosial masyarakat. Gejala kekerasan akhir-akhir ini sering dijadikan bahan berita baik dalam pemberitaan media cetak maupun visual. Informasi megenai perampokan, pemukulan, penganiyaan, bahkan pembunuhan dilakukan tanpa melihat jenis kelamin, umur, waktu dan tempat, atau lingkungan sosial. Tindak kekerasan ini bisa juga berupa penghinaan, perlakuan diskriminatif, atau penerapan segregasi. Kekerasan terjadi disebabkan oleh pelbagai faktor, antara lain ekonomi, ketidakharmonisan lingkungan keluarga, kecemburuan sosial, dan kerakusan.
Tidak hanya terjadi di dunia nyata, di dalam sebuah karya sastra juga sering mengangkat fenomena-fenomena kekerasan baik verbal maupun nonverbal yang terjadi dalam lingkungan sosial masyarakat maupun dalam lingkungan keluarga. Penggambaran kekerasan dalam karya sastra dapat ditemukan sejak lama dalam karya sastra dunia. Sebagai suatu lembaga sosial, kesusastraan mampu mengetengahkan persoalan-persoalan kemanusiaan, khususnya kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Pengungkapan yang dilakukan oleh pengarang bisa ditangkap sebagai kritik sosial terhadap kehidupan di sekelilingnya, di samping sebagai penghayatan akan mlai-nilai yang dianggap ideal, sekaligus pencerminan akan suatu bentuk pemikiran atau ideologi, bahkan juga sebagai suatu terapi. Kekerasan itu sendiri pun bentuknya bermacam-macam, dari yang eksplisit sampai yang terselubung yang dilakukan oleh berbagai pihak. Pada dasarnya fenomena kekerasan yang terjadi dalam karya sastra dianggap sebagai representasi kehidupan yang memberikan nilai-nilai positif kepada pembaca untuk diilhami dalam kehidupan.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie merupakan salah satu pengarang muda kelahiran tahun 1992 yang telah menghasilkan karya dalam bentuk novel dengan kemasan pemakaian bahasa yang mengesankan dalam mempresentasikan kehidupan. Di Tanah Lada merupakan salah satu karya Ziggy yang masuk dalam kategori sebagai pemenangke-II sayembara menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 2014.
Novel Di Tanah Lada merupakan salah satu novel yang mengangkat dan menggambarkan tentang kehidupan tokoh yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orang tua. Perlakuan yang dialami adalah tindak kekerasan dalam bentuk verbal yang dicerminkan lewat sudut pandang anak kecil. Dari sudut pandang Salva yang berumur 6 tahun, kita bisa melihat bagaimana mereka menghadapi hari-hari penuh tekanan. Kekerasan verbal pada anak merupakan kasus yang sering muncul saat ini. Hal tersebut terjadi di dalam keluarga dan sangat merugikan anak sebagai korbannya. Kekerasan dalam bentuk verbal memang tersamarkan yang merupakan kekerasan yang tidak terlihat, lembut, tidak dikenali, dan kealiman. Kekerasan dalam wujud verbal tersebut dilakukan lebih pada penggunaan bahasa atau tintak tutur berupa kata-kata yang mungkin sebagai pelampiasan emosi sehingga muncullah tindakan berbahasa yang merupakan bagian dari tingkah laku manusiawi yang tak lain merupakan tindak tutur kekerasan.
Menurut Baryadi (2012: 37) mengungkapkan ada empat jenis tindak tutur kekerasan verbal, diantaranya tindak tutur kekerasan tidak langsung, tindak tutur kekerasan langsung, tindak tutur represif, dan tindak tutur alienatif. Tindak tutur kekerasan tidak langsung merupakan kekerasan verbal yang tidak seketika itu juga mengenai korban, tetapi melalui media atau proses berantai. Tindak tutur kekerasan lansung adalah tindak tutur kekerasan yang langsung menimpa pada korban saat komunikasi verbal berlangsung. Tindak tutur kekerasan alienatif merupakan tindak tutur yang menekan atau mengintimidasi korban seprti memaksa, mengancan, mengata-ngatai, dsb. Tindak tutur alienatif adalah tindak tutur yang bermaksud menjauhkan, mengasingkan, atau bahkan melenyapkan korban dari komunitas atau masyarakatnya seperti mendiamkan, mengusir, menjelek-jelekan, ataupun mempermalukan, dsb.
Fenomena kekerasan verbal dalam novel tersebut menjadi menarik untuk dikaji, mengingat begitu besar bahayanya kekerasan terhadap anak baik itu penghinaan, pelecehan dan perendahan harga diri yang mengarahkan pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan atau bahkan mematikan. Kekerasan pada dasarnya merupakan tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) yang memberikan tekanan intensif dengan tujuan merusak, menghukum, ataupun mengontrol terhadap tindakan yang terjadi dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Salmi (2005: 225) yang mengatakan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang mengancam badan atau psikis orang atau sekelompok orang dan datang dari berbagai bentuk.
Secara umum, kekerasan verbal biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melebeli, atau juga mengkambinghitamkan. Sejalan dengan pemikiran Sudaryanto dalam Baryadi (2012: 36) bahwa kekerasan verbal terwujud dalam tindak tutur yang disebut sebagai tindak tutur kekerasan. Tindak tutur kekerasan, selain dengan titi nada tinggi, juga ditandai dengan kelugasan pengungkapan kata-kata yang menyakitkan hati (kata-kata jorok atau kata-kata makian yang merendahkan pihak lain) lazim dikenal sebagai “ucapan yang keras”, “bicaranya keras”, atau “kata-katanya pedas”, “omongannya menyakitkan”, dan lan-lain.
Sara Mills melihat sebuah wacana pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Dalam artian siapa yang menjadi subyek dari penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan (Darma: 2014). Terkait dengan posisi aktor dalam teks, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana subyek-obyek menempatkan representasi sebagai bagian terpenting. Dengan demikian hal ini mengarah kepada bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan dan peristiwa direpresentasikan dengan teknik tertentu dalam wacana dan menghadirkan makna kepada publik. Menurut Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis lebih menekankan pada proses produksi dan reproduksi makna. Oleh karena itu, penulis berusaha merepresentasikan teks berdasarkan latar belakang terciptanya karya, dan apakah tujuan dari penyusunan karya tersebut. Terlebih pada latar belakang sejarah dan ideologi pengarangnya.
Analisis wacana kritis (AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Ada tiga hal sentral dalam pengertian teks, konteks, dan wacana (Arifin, 2012: 118). Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis ekspresi komunikasi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam hal ini, yaitu memasukkan semua jenis situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi, serta fungsi yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatiannya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Bahasa sebagai medium dalam sastra menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek. Dalam dunia sastra wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungannya dengan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Kajian dalam penelitian ini menggunakan teori Analisis Wacana kritis, karena sangat membantu dalam menganalisis sebuah novel. Metode analisis wacana digunakan terhadap teks yang terdapat dalam cerita novel. “Tujuannya untuk membongkar nilai ideologis novel yang akan diteliti” (Triharyanto, 2009: 15). Model ini melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subyek penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan yang menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain posisi-posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana teks mengidentifikasikan dan menempatkan pembaca dalam penceritaan (Eriyanto, 2009: 200).

Ritual Marapu Masyarakat Sumba

Sumba ternyata bukan sekadar pulau dengan hamparan bukit-bukit dan padang sabana yang terlihat hijau, subur selama musim hujan dan akrab dengan ringkikan kuda sandel. Juga, bukan sekadar tempat yang menawan mata ketika kaum pria mempertontonkan kemahiran berkuda, dengan tubuh duduk tegap di punggung kuda menggiring ternak gembalaannya. Pulau seluas ± 11.500 km2 ini dihuni oleh sekitar 350.000 orang, menyimpan warisan budaya dari zaman megalitikum dan kepercayaan mereka yang mengagumkan.
Suku Sumba berada di Pulau Sumba yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Berdasarkan cerita yang sudah turun temurun, Sumba lahir dari empat pendaratan para leluhur. Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008: 40) menyatakan bahwa: pendaratan para leluhur itu diatur strategi, seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tana Humba .
 Kepercayaan mereka adalah kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Mereka menganut paham Dinamisme. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba .
Kepercayaan Marapu adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan Merapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilambangkan dengan ritual, perayaan upacara, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta juga arwah para leluhur mereka. Merapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka.
Soeriadiredja seorang ‘ethnographer’ yang memiliki perhatian pada budaya Sumba menjelaskan bahwa secara Hirarki, Merapu terbagi menjadi dua golongan, yaitu Merapu dan Merapu Ratu. Merapu yang pertama merupakan arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan). Sedangkan merapu Ratu ialah merapu yang dianggap turun dari langit dan merupkan leluhur dari para Merapu lainnya.
Kehadiran para marapu bagi masyarakat sumba di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu.
Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Sang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur saja, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan. Itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu-ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya.
Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan.
Bagi masyarakat Sumba, hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati.
Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku-hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara.
Tradisi leluhur yang diwariskan selama berabad-abad bersamaan dengan pandangan hidup orang Sumba, dewasa ini mulai dipengaruhi oleh kehidupan yang berasal dari luar kehidupan mereka. Generasi muda Sumba kini telah memperoleh cara pandang yang baru dan berbeda dengan tradisi serta ajaran yang telah leluhur mereka wariskan. Kendati demikian generasi muda Sumba masih menyimpan hormat dengan menjalankan nilai-nilai kepercayaan Merapu dalam kehidupannya.
Kepercayaan dan keyakinan adanya kekuatan gaib, yang melebihi kekuatan manusia biasa atau pengakuan atas wujut tertinggi, dituangkan dalam kepercayaan Marapu. Kepercayaan ini mengutamakan unsur-unsur kesucian, kebersihan jiwa, perdamaian, kerukunan, cinta kasih, keselarasan hubungan, keserasian, dan keseimbangan dunia akhirat, antara Tuhan dengan manusia, manusia dengan alam, kerukunan antara kabihu/Marapu yang dipuja masing-masing kabihu, serta dalam satu kabihu. Kepercayaan Marapu, adalah agama suku tradisional, yang berisi hukum dan ilmu suci bagi warga penganutnya, dalam wujud Budaya dan Religi.
Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu-ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya.
Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu yang bersifat supernatural, dan kekuatan supranatural. Dalam artinya pemujaan didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan budaya Masyarakat Sumba, para penganut Marapu hidup dalam Ketergantungan kekuatan alam lain.

Template Makalah (Non Penelitian)

JUDUL  (Judul Artikel Ditulis dengan Font Times New Roman 14, Maksimum 14 Kata untuk Bahasa Indonesia dan 12 Kata untuk Bahasa Inggris,)    ...