Sumba ternyata bukan sekadar pulau dengan hamparan bukit-bukit dan
padang sabana yang terlihat hijau, subur selama musim hujan dan akrab
dengan ringkikan kuda sandel. Juga, bukan sekadar tempat yang menawan mata
ketika kaum pria mempertontonkan kemahiran berkuda, dengan tubuh duduk tegap di
punggung kuda menggiring ternak gembalaannya. Pulau seluas ± 11.500 km2 ini
dihuni oleh sekitar 350.000 orang, menyimpan warisan budaya dari zaman
megalitikum dan kepercayaan mereka yang mengagumkan.
Suku Sumba
berada di Pulau Sumba yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba
Timur. Berdasarkan cerita yang sudah turun temurun, Sumba lahir dari empat
pendaratan para leluhur. Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008: 40)
menyatakan bahwa: pendaratan para leluhur itu diatur strategi, seakan-akan mau
melakukan pengepungan terhadap tana Humba .
Kepercayaan mereka adalah kepercayaan khas
daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup
ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Mereka menganut paham Dinamisme. Marapu
menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba .
Kepercayaan Marapu adalah
“keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa
Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan Merapu atau
“ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk
mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilambangkan dengan
ritual, perayaan upacara, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang
pencipta juga arwah para leluhur mereka. Merapu dalam bahasa
Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut
arwah-arwah para leluhur mereka.
Soeriadiredja seorang ‘ethnographer’ yang
memiliki perhatian pada budaya Sumba menjelaskan bahwa secara Hirarki, Merapu terbagi
menjadi dua golongan, yaitu Merapu dan Merapu Ratu. Merapu
yang pertama merupakan arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi
cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan).
Sedangkan merapu Ratu ialah merapu yang
dianggap turun dari langit dan merupkan leluhur dari para Merapu lainnya.
Kehadiran para marapu bagi
masyarakat sumba di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan
lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa
patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci
itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam
menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu.
Walaupun mempunyai banyak Marapu yang
sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama
sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Sang Maha Pencipta.
Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur
saja, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat
Manusia), Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta
biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan. Itu pun hanya dalam
upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam
keyakinan Marapu, Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam
urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk
menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu
sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia
dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu
dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu-ketu papajolangu (titian
yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara
manusia dengan Tuhannya.
Hampir seluruh segi-segi kehidupan
masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai
inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup,
serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta yang
tak terpisahkan.
Bagi masyarakat Sumba, hidup manusia
harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu
mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah.
Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan
kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu
memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka
keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula
antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah
mati.
Manusia yang masih hidup mempunyai
kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya.
Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum
keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku-hara sehingga
keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk
memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap
alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka
manusia harus melaksanakan berbagai upacara.
Tradisi leluhur yang diwariskan selama
berabad-abad bersamaan dengan pandangan hidup orang Sumba, dewasa ini mulai
dipengaruhi oleh kehidupan yang berasal dari luar kehidupan mereka. Generasi
muda Sumba kini telah memperoleh cara pandang yang baru dan berbeda dengan
tradisi serta ajaran yang telah leluhur mereka wariskan. Kendati demikian
generasi muda Sumba masih menyimpan hormat dengan menjalankan nilai-nilai
kepercayaan Merapu dalam kehidupannya.
Kepercayaan dan
keyakinan adanya kekuatan gaib, yang melebihi kekuatan manusia biasa atau
pengakuan atas wujut tertinggi, dituangkan dalam kepercayaan Marapu.
Kepercayaan ini mengutamakan unsur-unsur kesucian, kebersihan jiwa, perdamaian,
kerukunan, cinta kasih, keselarasan hubungan, keserasian, dan keseimbangan
dunia akhirat, antara Tuhan dengan manusia, manusia dengan alam, kerukunan
antara kabihu/Marapu yang dipuja masing-masing kabihu, serta dalam satu kabihu.
Kepercayaan Marapu, adalah agama suku tradisional, yang berisi hukum dan ilmu
suci bagi warga penganutnya, dalam wujud Budaya dan Religi.
Pengakuan adanya
Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan,
itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting
saja. Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam
urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk
menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap
sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya.
Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi
papakalangu-ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang
menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya.
Premis dasar
dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu yang bersifat
supernatural, dan kekuatan supranatural. Dalam artinya pemujaan didalam religi
tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan
budaya Masyarakat Sumba, para penganut Marapu hidup dalam Ketergantungan
kekuatan alam lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar