Sabtu, 28 Mei 2022

TEORI RESEPSI

Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon atau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207).


Cakrawala ini sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.


Teori resepsi dikembangkan dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:

  • norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca;
  • pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
  • pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya.  Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan  dalam  teks  tersebut.  Pengisian  tempat  terbuka  ini  dilakukan  melalui proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna” dalam mengisi “tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.

Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman, dan usia pembaca.
Dan untuk meneliti karya sastra dengan menggunakan teori resepsi sastra, ada dua cara yang bisa dilakukan yakni dengan menggunakan resepsi sastra sinkronik dan diakronik. 

Kedua metode ini dibedakan menurut kemunculan tanggapan dari pembaca atas karya sastra yang dibacanya.  Pertama, yaitu Sinkronik adalah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu periode. Yakni yang diteliti di sini resepsi pembaca dalam satu kurun waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental. Karya sastra yang diteliti dengan metode ini biasanya karya sastra yang sedang buming pada saat zamannya.

Sedangkan penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis adalah penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu atau dalam perjalanan waktu. Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibaca, Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah. Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern yang memiliki sejarah

Teori Konflik Politik

Menurut Susan (2010: 4-5) memahami dunia konflik akan membawa pada gambaran kompleks dari mobilisasi berbagai sumber daya konflik, seperti ideologi, massa, kekerasan dan militer. Setiap konteks, ruang dan waktu, dari narasi konflik melahirkan buah kesedihan atau kesenangan, kebersamaan atau perceraian, serta kehancuran atau pemecahan masalah. Lebih lanjut, Susan mengatakan studi konflik telah dimulai sejak perkembangan ilmu sosial klasik sampai abad postmodern terutama melalui disiplin ilmu sosiologi, psikologi dan hubungan internasional. Studi ini menjadi perhatian serius dan berkembang di Indonesia melalui peristiwa konflik kekerasan baik dalam etnis, agama, dan sapartisme pasca kekuasaan Orba (Orde Baru). Menurut Kornblurn (dalam Susan, 2010: 5) konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik.

Susan (2010: 8) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk konfliktis (homo chonflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Lebih lanjut, Susan menyatakan konflik secara sederhana adalah pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Unsur-unsur yang ada di dalam konflik adalah persepsi, aspirasi, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi, maka akan ditemukan pula aspirasi dan aktor.

Surbakti (1992: 9) menyatakan bahwa masyarakat dan sistem politik terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing memiliki kepentingan yang bertentangan sehingga masyarakat dan sistem politik selalu berada dalam keadaan ketidakseimbangan dan konflik. Lebih lanjut, menurut Surbakti (1992: 151) istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik politik dirumuskan secara luas sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangaan di antara sejumlah individu, kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Sedangkan, secara sempit konflik politik dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, menentang perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara partisipan politik.

Surbakti (1999: 1) mendefinisi politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Dalam KBBI Luring politik diartikan sebagai: 1) (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan lain sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; 3) cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan. Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan untuk mengatur negara.

Adapun jenis konflik menurut Saudi dkk, (dalam Susan, 2010: 99) yaitu: 1) koflik vertikal adalah konflik antara elite dan massa (rakyat). Elit yang dimaksud adalah para pengambil kebijakan di tingkat pusat (pemerintahan), kelompok bisnis atau aparat militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban di kalangan massa (rakyat); 2) konflik horizontal yakni konflik yang terjadi di kalangan massa atau antarmassa (rakyat). Biasanya konflik antar-agama.

Terdapat dua tipe konflik menurut Surbakti (2010: 195) yaitu konflik positif dan konflik negatif.

1) Konflik positif ialah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan forum-forum terbuka yang lain.

2) Konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti, kudeta, separtisme, terorisme, dan revolusi.

Paul Conn (dalam Surbakti 2010: 196) mengemukakan situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (no-zero-sum conflict). 1) konflik memang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri utama dari struktur konflik menang-kalah adalah tidak mungkin diadakan kerja sama dan kompromi; 2) konflik menang-menang memiliki ciri bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Kompromi adalah salah satu fungsi politik yang utama. Masyarakat demokratis biasanya memutuskan konflik secara kompromi.

Dari beberapa pendapat ahli yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa konflik politik adalah pertentangan antara dua belah pihak atau lebih yang bersaing merebut suatu tujuan yang sama untuk kepentingan yang berbeda yang disertai dengan tindakan kekerasan dan melibatkan pemerintah baik dalam penyelesaiannya maupun saat terjadinya konflik.

Johan Galtung sebagai salah satu ilmuwan sosial menggunakan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis konflik. Galtung mengemukakan bahwa individu, kelompok, dan organisasi selalu membawa kepentingan masing-masing, baik kepentingan ekonomis maupun politis. Proses kepentingan ini akan membawa bentuk perilaku-perilaku tertentu yang menciptakan kontradiksi dan situasi ketegangan (Susan, 2010: 90).

Johan Galtung menggambarkan konflik dalam segitiga konflik yang berfungsi untuk menganalisis sebab akibat konflik sosial, yang terdiri dari tiga dimensi yaitu sikap, perilaku, dan kontradiksi. Pertama, sikap adalah persepsi anggota etnis tentang isu-isu yang berkaitan dengan kelompok lain. Kedua, perilaku dapat berupa kerjasama, persaingan atau paksaan, suatu gerak tubuh yang menunjukkan persahabatan dan permusuhan. Ketiga, kontradiksi adalah kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan perilaku sebagai proses, artinya kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak etnis-etnis yang hidup dalam lingungan sosial.

Galtung mengatakan bahwa di dalam konflik terdapat kontradiksi, sesuatu yang menghalangi sesuatu yang lain. Dengan kata lain, terdapat suatu masalah (Galtung, 2003: 157). Situasi tersebut bisa mengarah pada munculnya kekerasan apabila tidak segera diselesaikan. Situasi ini dapat pula disebut sebagai formasi konflik elementer atau atom-atom konflik yaitu (1) sengketa adalah dua orang, atau aktor yang mengejar tujuan yang sama, (2) dilema adalah satu orang, atau aktor, yang mengejar dua tujuan yang berbeda (Johan Galtung, 2003: 157-158). Sengketa dapat dengan mudah mengarah pada upaya-upaya untuk merugikan atau mencederai aktor yang menghalangi jalannya untuk mencapai tujuan, dengan kata lain penghancuran terhadap orang lain. Konflik membangkitkan energi, masalahnya adalah bagaimana menyalurkan energi tersebut agar tidak menimbulkan ko nflik kekerasan.

Konflik bersifat problematis, juga dapat mengarah pada perilaku konstruktif, seperti postur meditatif dan dalam, yang juga dikenal sebagai “dialog batin” dan “dialog luar” dengan orang lain mengenai masalah-masalah. Perilaku destruktif bersifat menghancurkan, melukai dan merugikan, sedangkan perilaku konstruktif bersifat membangun. Kedua hal tersebut bisa hadir pada tempat dan waktu yang sama dan pada orang yang sama pula.

Dalam konflik terdapat dua sisi, yaitu sisi manifest yang dapat diamati dengan perilaku, dan aspek laten yang dapat diamati dengan sikap dan kontradiksi.

Suatu kontradiksi mungkin dialami sebagai frustasi, saat suatu tujuan dihalangi oleh sesuatu yang mengarah pada agresif sebagai sikap dan agresi sebagai perilaku. Kekerasan melahirkan kekerasan. Masalah mendasarnya ialah bahwa proses di atas mungkin juga dimulai dari sikap atau dari prilaku. Jika sikap mengambil suatu bentuk sikap agresif, yaitu emosi permusuhan dan pengakuan negatif atas orang lain (Feindbild), maka situasi yang muncul adalah tentang energi konflik negatif yang terkait dengan kontradiksi, mungkin akibat akumulasi pengalaman di masa lalu, misalnya dengan mendekati konflik terlalu negatif.

Dalam suatu sengketa, dua aktor saling mengamati perilaku yang lain, mungkin juga perilaku mereka sendiri. Melalui dialog batin mereka mungkin meningkatkan kesadaran mereka sendiri tentang sikap dan kontradiksi, sehingga menjadi panduan satu sama lain dalam memahami diri mereka sendiri (Galtung, 2003: 163). Pada situasi konflik, kita dapat mengamati tingkah perilaku seorang atau lebih (aktor), baik kenyamanan total (total ease) maupun ketidaknyamanan total (total di-sease) atau keduanya pada diri aktor. Suatu situasi dapat dianggap sebagai ‘ketegangan’ jika ketidaknyamanan bersifat dominan, dan sebaliknya ‘ketenangan’ (dis-tension) dianggap kenyamanan jika bersifat domininan, dengan mengingat bahwa keduanya tidak meniadakan satu sama lain. Namun, baik ketegangan maupun ketenangan (aspek positifnya, daya tarik) dapat mengendalikan suatu konflik di manapun. Selanjutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik berpeluang besar untuk berperilaku menurut kecenderungan berperilaku masing-masing, seperti iblis atau malaikat, keduanya atau tidak keduanya, bergantung pada kepribadian, yang tentu saja mungkin dibentuk oleh konflik-konflik di masa lalu (Galtung, 2003: 164).

Aktor dalam konflik politik adalah subjek yang sadar akan apa itu (what is) (kognisi), apa yang dia inginkan (kem auan) dan karena alasan tersebut seharusnya menjadi (ought to be), dan bagaimana dia merasa (emosi), misalnya, mengenai hubungan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya. Jika apa yang seharusnya (ought to be) juga adalah apa yang ada (is), maka mungkin dia mengatakan ‘Aku baik-baik saja, terima kasih’, jika tidak ‘Aku kurang sehat’ mungkin merupakan formulasi verbal keadaan batin yang tersiksa.

Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku dan pada gilirannya melahirkan kontradiksi atau situasi dan sebaliknya, situasi bisa melahirkan sikap dan perilaku, Rombostham, Wood, dan Miall (dalam Susan, 2010: 91). Dalam konflik terdapat peluang kekerasan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat didefinisikan: (1) kekerasan terbuka, yaitu kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; (2) kekerasan tertutup, yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam; (3) kekerasan agresif, yaitu kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; (4) kekerasan defensif, yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup (Santoso, 2002: 11).

Dalam konflik politik terdapat kekerasan langsung. Kekerasan langsung (direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan langsung (Susan, 2010: 121). Dalam kekerasan langsung ada hubungan subjek-tindakan-objek seperti kita lihat pada seseorang yang melukai orang lain dengan aksi kekerasan (Galtung dalam Susan, 2010: 121).


Rabu, 25 Mei 2022

Sosiologi Sastra

Grebstein (dalam Damono, 1978: 4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Dapat dipahami bahwa, karya sastra tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya pengaruh lingkungan masyarakat sebagai pencipta karya sastra.

Menurut Damono (1978: 8) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif, sedang sastra bersifat afektif. Lebih lanjut Damono mengatakan, persamaan objek yang digarap menyebabkan ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya nanti sosiologi akan dapat menggantikan kedudukan karya sastra (novel atau cerpen). Namun, ada satu hal yang perlu diingat dan merupakan sesuatu yang jelas dari sastra yaitu mempunyai satu kekhasan atau keunikan yang tidak dimiliki oleh sosiologi. Oleh sebab itu, keduanya tampak memiliki kemungkinan yang sama untuk berkembang, saling bekerja sama dan melengkapi. Meskipun sosiologi dinilai tidak akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik yang terdapat dalam karya sastra, namun sosiologi dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dap at dikatakan bahwa tanpa sosiologi pemahaman tentang sastra maupun telaah sosial memerlukan metode dan orientasi yang berbeda-beda.

 Bersama-sama sosiologi, sastra akan diungkap agar semakin jelas kebermanfaatannya (Endraswara, 2013: 1). Menurut Pradopo (1993: 34), studi sosiologis dalam kesusastraan bertujuan untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat. Sedangkan, Hutomo (dalam Endraswara, 2013: 1) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah bagian ilmu sastra. Esensi sosiologi sastra adalah memandang karya sastra sebagai produk sosial budaya, dan bukan hasil dari estetik semata. Nada historis penting dalam studi sosiologi sastra untuk menangkap kebermanfaatan sastra dari sebuah periode.

Pernyataan ini dapat dipahami bahwa karya sastra tidak dapat terlepas dari sosiologi yang meskipun karya sastra merupakan pra-pemikiran imajinatif, tetapi pengarang karya sastra berasal dari masyarakat dan mampu membangun imajinasi yang mirip dengan kehidupan sosial yang nyata. Meskipun antara sastra dengan sosiologi adalah dua bidang ilmu yang berbeda (interdisipliner) tetapi mampu menjadi bidang ilmu baru yaitu sosiologi sastra.

Pengkajian karya sastra yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra cukup beragam. Wellek dan Warren (dalam Damono, 1978: 3) mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu: pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; kedua, sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri; dan ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Dari Ian Watt, (dalam Damono, 1978: 3-4) juga mengungkapkan ada tiga macam pendekatan dalam sosiologi sastra, yaitu : pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini, Damono juga menambahkan faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi pengarang sebagai individu disamping pengaruh yang masuk ke dalam isi karya sastranya. Hal-hal utama yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang memperoleh mata pencahariannya; (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi; dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, Sastra sebagai cermin masyarakat, hal-hal utama yang mendapat perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis; (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang memengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya; (c) sejauh mana ganre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya; (b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan (a) dengan (b) di atas.

Laurenson (dalam Fananie 2000: 133) mengatakan bahwa ada tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu: pertama, perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; kedua, perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan ketiga, model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari tradisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam mengkaji karya sastra terdapat tiga pokok pendekatan yaitu pendekatan sosiologi pengarang, pendekatan sosiologi karya, dan pendekatan sosiologi pembaca. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada isi karya sastra dengan pendekatan sosiologi karya sastra.

Selasa, 24 Mei 2022

Konsep Representasi

Representasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu representation. Representasi adalah perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili, atau perwakilan (Depdiknas, 2008: 1167). Representasi bisa juga diartikan sebagai gambaran (Rafiek, 2010: 67). Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna dalam Putra, 2012: 17).

Jika dikaitkan dengan bidang sastra, representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (mimesis) (Teeuw dalam Putra, 2012: 17).

Menurut Sumardjo (dalam Putra, 2012: 18), representasi adalah (1) penggambaran yang melambangkan atau mengacu pada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia, (3) penggambaran karakteristik general dari alam manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentuk-bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewat pandangan mistis-filosofis seniman. Keempat klasifikasi yang diungkapkan oleh Sumardjo menunjukkan bahwa selain bersifat objektif, representasi juga bersifat subjektif. Klasifikasi satu dan dua menunjukkan bahwa representasi memiliki sifat yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat, dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi tiga dan empat menunjukkan bahwa representasi bersifat subyektif karena realitas digambarkan secara subjektif melalui struktur mental, struktur nalar senimannya. Pandangan Sumardjo tentang representasi sangat ditentukan oleh kemampuan interpretasi sastrawan.

Faruk (dalam Putra, 2012: 19) mengungkapkan bahwa representasi sebagai bagian dari karya sastra merupakan sebuah kombinasi antara kekuatan fiktif dan imajinatif. Dua kekuatan ini mampu menangkap secara langsung bangunan dunia sosial yang memang berada di luar dan melampaui dunia pengalaman langsung, objek, serta gerak-gerik. Karya sastra dapat merepresentasikan objek dan gerak-gerik yang berbeda dari objek dan gerak-gerik yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi strukturasi atas objek dan gerak-gerik, sastra dapat merepresentasikan persamaannya melalui strukturasi dalam dunia sosial.

Dalam memahami representasi, hendaknya kita mengingat kembali hakikat karya sastra. Sebuah karya sastra tercipta atas faktor imajinasi pengarang. Imajinasi pengarang umumnya mengacu pada kehidupan nyata, baik itu yang dialami oleh si pengarang sendiri, maupun dari fenomena sosial apa yang terjadi di sekitarnya. Dalam sebuah penggambaran imajinatif pengarang dalam karya sastra, biasanya terdapat interpretasi pengarang yang disajikan dalam bentuk alur cerita (novel atau cerpen) atau pun secara tersirat dalam kandungan teks (puisi, syair, pantun, dan lain-lain). Representasi dalam dunia sastra tidak sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu, akan tetapi, lebih mengarah kepada penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif pengarang tersebut. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomena sosial dalam karya sastra sangat dipengaruhi oleh ras, waktu, serta lingkungan yang melatarbelakanginya.

Dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada pendapat Sumardjo yang mengatakan bahwa representasi adalah penggambaran (pencerminan) yang melambangkan kenyataan seperti yang diuraikan di atas.

Senin, 23 Mei 2022

TEORI SASTRA STRUKTURALISME DAN SEMIOTIK

Teori Sastra strukturalisme

Strukturalisme merupakan paham yang menggap bahwa untuk menelaah dan menganalisis suatu karya sastra hanya berdasrkan pada unsur internalkarya sastra itu tanpa harus melihat unsur eksternalnya

Mr. Ferdenand de sassure.  Bahasa terdiri dari bentuk dan makna yang tidak dapat dipisahkan contoh kata siku diubah menjadi saku

Strukturalisme menganggap setiap karya sastra, elemen unsurnya saling terikat dan mempengaruhi

Pemaknaan karya sastra harus diarahkan dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan

Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang ditemukan dalam karya sastra itu sendiri

Bentuk unsur intrinsik dalam prosa

Bentuk dan struktur fisik puisi

Bentuk dan struktur puisi sering disebut dengan metode puisi. Istilah metode puisi digunakan dengan tujuan agar proses analisis terhhadap puisi lebih bersifat fokus dan tidak mengacaukan penelitian lainnya. Struktur puisi tersebuta ialah:

a. Perwajahan puisi (Tipografi)

ciri-ciri yang dapat dilihat secara sepintas dari bentuk puisi adalah perwajahannya. Dalam perwajahan puisi terdapat pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait pada puisi. Dalam puisi konvensional, larik dan baris diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Setiap larik tidak harus diawali dengan huruf capital dan diakhiri oleh tanda baca (.). strukturnyapun tidak dalam bentuk paragraf, namun seperti halnya deret larik atau baris. Larik atau baris merupakan satuan deret pada puisi, sedangkan bait merupakan susunan larik atau baris yang memiliki makna atau satu pokok pikiran. 

Dalam puisi kontemporer atau modern, bentuk puisi tidak selalu dalam suatu kumpulan larik-larik yang membentuk bait, namun justru bentuknya dapat berupa gambar atau pola tertentu. Ciri puisi juga tidak selalu memenuhi setiap halaman yang ditulis mulai dari tepi kiri hingga tepi kanan, terkadang hanya beberapa kata ataupun satu kalimat dalam satu larikpun itu kerap ditemui. 


PERAMBAH HUTAN

Perambah hutan ialah kita

Yang berpesta

Yang menista

Yang menderita

Yang lupa membaca peta


Perambah hutan ialah kita

Yang tersuruk mencari jalan-Nya

Yang terbius fatamorgana

Yang lupa bagaimana mengeja nama-Nya


b. Imaji

Imaji atau daya bayang adalah kata atau susuanan kata-kata yang dapat menungkapkan pengalaman indrawi seseorang. Seperti bayangan terhadap suatu penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perasaan. Imaji dapat di bagi menjadi tiga yaitu:

1. Imaji suara (auditif)

2. Imaji penglihatan (imaji visual)

3. Imaji raba dan sentuh (imaji raba dan taktil)

Imaji dapat membuat seakan-akan pembaca merasa langsung melihat, mendengarkan dan merasakan seperti yang dialami oleh penyair. 


c. Kata konkret

Dalam imaji terdapat kata konkret yang menggambarkan sesuatu hal agar pembaca dengan mudah mengidentifikasi hal yang mampu membuat pembaca berimaji. Kata konkret tersebut dapat berupa kata-kata yang terdapat pada puisi. Kata-kata tersebut menggambarkan seseuatu yang dapat di indra, dan kemunculan kata konkret itu erat sekali dengan keberadaan simbol, kiasan, atau lambing. Misalkan saja kata “es batu” maka imaji pembaca akan menggambarkan sebuah kebekuan, dan kedinginan.


d. Bahasa Figuratif (Majas)

Bahasa figuratif adalah sebuah bahasa yang penuh dengan kiasan atau dapat menimbulkan suatu bentuk konotasi tertentu. Dalam penciptaan puisi bahasa yang digunakan cenderung bukan bahasa-bahasa sehari-hari, namun lebih bersifat figurative. Bahasa figuratif disebutkan dapat dengan mudah untuk menggambarkan maksud dan perasaan penyair, karena (1) bahasa figurative mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) bahasa figurative adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak jadi konkret dan menjadikan puisi menjadi nikmat dibaca, dan (3) bahasa figuratif adalah cara menambah itensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair, dan (4) bahasa figuratif adalah cara untuk mengonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa singkat.


e. Verifikasi

Verifikasi menyangkut persoalan rima, ritme dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada sebuah puisi, baik persamaan bunyi di bagian awal, tengah atau di bagian akhir baris puisi. Persoalan rima mengcakum (1) onomatope atau tiruan terhadap bunyi, missal /ng/ yang (misalnya) memberikan efek magis, (2) bentuk intern pola bunyi misalnya: alterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi atau kata, dan sebagainya, dan (3) pengulangan kata atau ungkapan. Ritme adalah alunan bunyi di dalam pembacaan suatu puisi. Alunan bunyi tersebut dapat dalam bentuk alunan suara yang tinggi, rendah dan panjang, pendek, keraa dan lemah. Metrum mengacu kepada penjarakan, penghentian, kesenyapan, dan penekanan-penekanan tertentu. Rima, ritme dan metrum perlu diperhatikan secara utuh karena ketiganya sangat berkaitan


TEORI SASTRA SEMIOTIK

Semiotik atau semiologi adalah ilmu tentang tanda. Banyak ahli bahasa yang mengemukakan tentang semiotika, Ferdenand de saussure, A Teew, Roland Barthes, Jacques derrida, charles sanders peirce.

Semiologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tanda kebahasaan (kata-kata lisan, tulisan, bentuk isyarat, simbol). Kesatuan antara penanda(signifier) dan petanda (signified )disebut tanda(sign)

a) Tanda/sing

b) Simbol/ tanda yang arbitrer/konvensi

c) Icon/ hubungan antara tanda dan objek

a) Indeks/tanda yang bersifat kausal


Icon Indeks Simbol



Lukisan Kuda

Suara kuda Diucapkan kata kuda 

Gambar kuda Suara langkah kuda Makna gambar kuda 

Foto kuda Gerak kuda Makna  bau kuda 

Makna gerak kuda 

Analisis Puisi Cintaku Jauh di Pulau dengan pendekatan teori Strukturalisme dan semiotik


Puisi

Karya Chairil Anwar

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama ‘kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri


Teori Romantisme dan Psikoanalisis Memahami teori Romantisme dan Psikoanalisis dalam Karya Sastra


Romantisme :

Romantisme merupakan sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke 18 pada masa Revolusi Industri. Gerakan ini merupakan revolusi melawan norma-norma kebangsawanan 

Gerakan ini menekankan emosi yang kuat sebagai sumber dari pengalaman estetika, memberikan tekanan baru terhadap emosi-emosi seperti rasa takut, ngeri, dan takjub yang dialami ketika seseorang menghadapi yang sublim dari alam. Gerakan ini mengangkat seni rakyat, alam, dan kebiasaan, serta menganjurkan epistemologi yang didasarkan pada alam, termasuk aktivitas manusia yang dikondisikan oleh alam dalam bentuk bahasa, kebiasaan dan tradisi.

Romantisme juga dapat dikatakan sebagai karya sastra yang lebih mentingkan nilai-nilai rasa dalam pemaparanya, nilai rasa inilah yang menjadi suatu gerakan membongkar gerbong kebebasan ekspresi dari seniman dan sastrawan dalam melawan dogma dan dokrin yang selalu mengedepankan ideologi rasionalitas

Ideologi rasionalitas hanya memandang sesuatu yang nyata di dunia ini sehingga jarang menggunakan pendekatan perasaan dan nilai estetis dalam mengelola alam.

Ciri-ciri romantisme yang dapat dijadikan dasar adalah : (1) individualisme, (2) mementingkan perasaan daripada rasio, (3) kekaguman pada alam dan (4) sifat sentimentalisme dan kisah-kisah yang bertemakan percintaan atau kisah yang bertema melankolis. 

Di Indonesia, kita bisa membaca pada periode Pujangga Baru(1930—1945)

Pada periode ini jenis sastra cerita pendek banyak digunakan sebagai sarana pernyataan seni atau yang beraliran romantik.

Karya sastra romantik misalnya: Buah Rindu Karya Amir Hamza. Layar Terkembang dan Tebaran Mega Karya Takdir Alisjahbana. Belenggu karya Arminj Pane dan lain-lain.

 

Relevansi dan defenitif

Relevansi analisis psikoanalisis dalam karya sastra akan sangat diperlukan pada saat tingkat peradaban mencapai kemajuan, pada saat manusia kehilangan kepribadian

Secara defenitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiawaan yang terkandung dalam karya sastra(Abrams, 1979)

Ada tiga cara yang dilakukan untuk memahami hubungan antar psikologi dan sastra yakni, kejiwaan pengarang sebagai penulis/kejiwaan tokoh fiksional/ kejiwaan pembaca. Dengan demikian karya sastra akan dipahami secara proporsional, apakah sastra merupakan perilaku baik, lamunan, impian, dorongan seks, dan seterusnya (Endaswara, 2008)


Psikoanalisis Klasik

Struktur kepribadian manusia,memiliki tiga tingkat kesadaran yaitu sadar (Consious), prasadar(preconsious) dan ketidaksadaran(unconsious). 

Pada tahun 1923 Freud mengenalkan tiga model struktur yang lain, yakni Id, ego, dan superego

Sadar(cousious) adalah tingkat kesadaran yang yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu, hanya sebagian kecil sajadari kehidupan mental yang masuk ke dalam consious ini.

Prasadar(preconsious) adalah tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antarasadar dan tak sadar. Pengalaman yang ditinggal semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, sehingga akan ditekan ke daerah prasadar.

Taksadar (unconsious) adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran. Pada areal ini berisi tentang insting yang dibawah sejak lahir. 


Id, Ego, dan Superego

Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawah sejak lahir. Dari Id ini kemudian muncul Ego dan Superego. Id Beroperasi di daerah uncossious. Id berhubungan dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis

Id beroperasi pada kenikmatan

Id hanya mampu membayangkan sesuatu tanpa membedakan dengan kenyataan. Id tidak mampu membedakan benar- salah. Alasan inilah Id memunculkan Ego.

Ego adalah pelaksana dari kepribadian yang memiliki dua tugas utama yakni, 

Memilih stimulus mana yang akan direspon dan insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan.

Kapan kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan peluang dan resiko. Ego bekerja untuk ID

Superego adalah kekuatan moral dan etik dalam kepribadian kesadaran yang bekerja memakai prinsip idealistic principle, sebagai lawan dari prinsip kepuasaan Id dan Ego 


Penekanan kepribadian oleh Sigmund Freud didasarkan pada pentingnya seksualitas

Fase Oral (usia 0-1) kenikmatan diperoleh dari rangsangan menggigit, mengunyah,menelan, memuntahkan makanan dan lain-lain (fase penentu masa depan)

Fase Anal (usia 1- 2/3) fase ini dubur menjadi titik tumpuh kateksis dan anti kateksis yang prosesnya tergantung tekanan orang tua terhadap anak 

Fase Falis (usia 2/3-5/6) daerah kelamin merupakan daerah sensitif terpenting yang berpengaruh pada cara pandang anak terhadap keberadaan ayah, Ibu, saudara lelaki dan saudara perempuan dalam persaingan Falis.

Kesimpulan: teori psikoanalisis klasik Sigmund Freud

Kepribadian manusia hanya berdasarkan pada pentingnya seksualitas sehingga mengabaikan kebutuhan jiwa yang lainya.

Segala kepribadian dan perkembangan manusia selalu didasarkan pada proses seksualitas

Masa depan manusia dalam berpikir dan bertingkah laku selalu dipengaruhi oleh faktor seksualitas 


Psikoanalisis dalam karya sastra.

Novel karya Ahmad Tohari “Ronggeng dukuh Paru” Strintil dan Rasus

Novel  karya Ayu Utami “saman” kucing-kucing lapar bersepatu lars”

Cerpen karya Putu Wijaya “Suamiku, berbulan-bulan saya menantikan suratmu, sampai sekarang tak sebuahpun yang kunjung datang,.... sejak dulu saya sudah curiga dan menaruh firasat tidak enak”,...” 


TEORI POSTKOLONIALISME


Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari kata coloni, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi ekploitasi lainnya. Konotasi negatif  kolonial timbul sesudah terjadi intraksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa. Penaklukan terhadap suatu wilayah tertentu telah dilakukan jauh sebelumnya misalnya, tahun 1122 SM dinasti Shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke 2 M menguasai Armenia hingga lautan Atlantik, tahun 712 lembah sungai Indus ditaklukkan oleh Muhammad bin al- Qassim, bangsa Mongol menguasai Timur tengah dan Cina, bangsa Aztec abad ke 14 dan kerajaan Inca abad ke 15 menaklukkan bangsa-bangsa lain disekitarnya, dan sebagainya. Aksi kolonialisme Negara-negara Eropah modern baru mulai sekitar abad ke 16.

            Dikaitkan dengan teori-teori postmodernisasi yang lain, studi postkolonial termasuk relatif baru. Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teri poskolonialisme lahir. Proyek postkolialisme pertama kali dikemukakan oleh Frants fanon dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks and the Wretched of the Earth (1967). Fanon adalah seorang psikiater yang mengembngkan analisis yang sangat cermat mengenai dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Fanon menyimpulkan bahwa melalui diktomi kolonial, penjajah –terjajah, wacana oriental telah melahirkan alienasi dan menganalisasi psikologis yang sangat dahsyat.

Sebagai varian postrukturalisme maka konsep-konsep dasar postkolonialisme sama dengan postrukturalisme, seperti penolakan terhadap narasi besar, oposisi biner, dan proses sejarah yang terjadi secara monolitik. Salah satu cara yang ditawarkan adalah membongkar strutur ideology melalui mekanisme arkeologi dan genealogi. Cara pertama yang dilakukan melalui penggalian (excavation) terhadap masa  lalu,, sedangkan cara yang kedua mencoba menemukan kontinuitas sekaligus diskontinuitas historis objek. Menurut Foucault, objek kajian yang dimaksudkan disebut arsip, seperangkat wajana yang diungkapkan secara actual, baik dengan cara ditulis,disusun, diucapkan, dan diungkapkan kembali, maupun ditransformasikan. Sepintas lalu (Dean, 1994 : arkeologi dan geneologi bersifat saling melengkapi, tetapi pada dasarnya geneologilah yang dominan sebab semata-mata dalam melacak jaringan wacana ditemukan sekaligus disingkirkan subjek yang memiliki otoritas.

            Seperti hypogram dalam teori interteks, genealogi foucaulation ( Ritzer, 2003: 67-81; Sarup,2003: 100-101) bukan usaha menemukan asal-usul sebagaimana dipahami secara tradisional, sebagai arketipe. Arkeologi mencoba menggali situs lokal dalam rangka menemukan irisan diskursif, sedangkan geneologi mencoba menemukan jaringan wacana, bagaimana diskursus diperaktikkan. Sama dengan postrukturalisme, ciri khas postkolonialisme dengan demikian adalah dekontruksi terhadap subjek tunggal, narasi besar. Dalam analisis terjadi tumpang tindih dengan postrukturalisme. Meskipun demikian, sesuai dengan objeknya, ciri khas postkolonialisme adalah berbagai pembicaraan yang berkaitan dengan kolonialisme, khususnya orientalisme. Oleh karena itulah narasi terbesar postkolonialisme adalah orientalisme. Teori adalah konsep-konsep diperoleh melalui seleksi dan akumulasi ilmu pengetahuan sepanjang sejarahnya sehingga mampu memecahkan masalah yang terjadi pada zamannya. Teori postkolonialisme dibangun atas dasar peristiwa sejarah terdahulu, pengalaman pahit bangsa Indonesia selama tiga setengah abad, khususnya dibawah kolonialisme imperium Belanda. Teori postkolonialisme memiliki arti penting, dianggap mampu untuk mengungkap masalah-masalh tersembunyi yang terkandung dibalik kenyataan yang pernah terjadi dengan pertimbangan sebagai berikut:

1.    Secara defenitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial. Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang merdeka baru setengah abad.

2.    Postkolonialsme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, sedangkan kita sendiri juga dihadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bertanah air.

3.         Sebagai teori baru, sebagai varian postrukturalisme, postkolonialisme memperjuangkan narasi kecil, meggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan.

4.         Postkolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan semata-mata dalam bentuk fisik melainkan psike. Model penjajahan terakhir masih berlanjut.

5.         Postkolonialisme bukan semata-mata teori melainkan suatu kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan seperti memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.

Teori postkolonialisme semakin banyak dibicarakan, sekaligus memperoleh tempat di kalangan ilmuwan satu dasawarsa sesudah terbitnya buku Frans Fanon(1960-an) dengan adanya temuan Edward Said mengenai pemahaman baru terhadap orientalisme. Artinya, kelahiran teori postkolonialisme pada dasarnya diawali dengan pemahaman ulang tentang orientalisme. Meskipun demikian, dalam analisis, orientalisme dengan postkolonialisme seolah-olah merupakan dua kutub yang bertentangan, dua ideologi dengan muatan yang berbeda, tetapi selalu hadir secara bersama-sama sebagai oposisi biner.

Tidak dipermasalahkan nasionalitas penemu teori. Pada puncak pencapaian intelektualitas tertinggi, pada tingkat konsep-konsep, manusia berada pada tataran universal, bebas dari ikatan-ikatan bangsa, Negara, dan tanah air. Masalah yang penting, pemahaman tersebut dapat memberikan makna baru terhadap kejadian-kejadian yang sudah terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, yang implikasinya masih dirasakn sekarang dalam waktu yang tidak biasa ditentukan.


PROFIL PENULIS NOVEL PUTU WIJAYA

Putu Wijaya merupakan sastrawan Indonesia yang produktif menghasilkan karya sastra, ragam karyanya berupa cerpen, novel, drama, maupun skenario film. Produktivitasnya sebagai sastrawan tersebut diimbangi pula dengan kualitas karya yang dihasilkan.

Putu Wijaya adalah salah seorang pengarang yang menulis novel dengan cara baru, yaitu dengan bentuk yang nonkonvensional. Selain menulis karya sastra nonkonvensional, Putu Wijaya pun menulis karya sastra yang beralur konvensional. Dalam hal sastra yang beralur konvensional, sebagai sastrawan kelahiran Bali, Putu Wijaya sering mempertanyakan sistem kebudayaan di Bali.

Novel-novel Putu Wijaya antara lain adalah Telegram (1972), Bila Malam Bertambah Malam (1971), Pabrik (1976), Stasiun (1977), MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), Sah (1977), Keok (1978), Sobat (1981), Lho (1982), Nyali (1983), dan Pol (1987). Drama-dramanya antara lain Lautan Bernyanyi (1967), Anu (1974), Aduh (1975), Dag Dig Dug (1976), dan Gerr (1986). Adapun kumpulan cerpennya antara lain Bom (1978), Es (1980), dan Gres (1982). Putu Wijaya juga menulis skenario sekaligus menyutradarai tiga film layar lebar yaitu Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Di tahun 1980, ia memperoleh penghargaan SEA Write Award dari Ratu Sirikit, Thailand. Putu Wijaya juga memperoleh Anugerah Seni pada tahun 1991 dari Pemerintah Indonesia.

Sinopsis Cerita Film India PK dan Nilai moral dalam Film

Cerita ini bermula saat Makhluk asing dengan wajah yang aneh, telinga yang pampang, dan mata yang selalu melotot mendarat di bumi dengan maksud melakukan penelitian, pada saat di bumi ada orang yang merampok Remote yang ada di kalungnya yang ia miliki sehingga dia tidak biasa kembali ke planetnya dia berusaha mengejar orang tersebut namun orang tersebut berlari dan menaiki kereta.

Seorang wanita yang bernama Jaggu pergi ke Pakistan dan ia ingin membeli tiket filemnya dan dia bertemu dengan seorang lelaki yang menjadi kekasihnya, Jaggu ingin menikah dengan lelaki tersebut, karena jaggu beragama hindu dan kekasihnya beragama islam mereka memutuskan untuk menikah di gereja. Saat Jaggu berada di gereja menunggu kekasihnya ada seorang wanita yang menitipkan kucingnya, pada saat wanita itu pergi ada seorang anak kecil yang memberikan surat bahwa kekasihnya tidak ingin menikahinya dan tidak perlu menghubunginya. Jaggu sangat sedih dan dia pergi kembali ke asalnya yaitu New Delhi.

Jaggu berada disana dan menjadi seorang reporter dan disana ia menemukan PK yang sedang membagikan pamphlet untuk mencari tuhan. Jaggu melaporkan hal itu kepada atasanya, dan dia kemudian mengikutu Pk saat pergi ke kuil untuk  mengambil uangnya, tetapi ada bitsu yang melihat tindakannya itu Pk sengaja menempel gambar tuhan di pipinya agar orang tidak berani memukulnya Jaggu sengaja membantu PK dengan memasukan dompetnya di dalam kotak itu sehingga PK tertolong, kemudian PK berjalan bersama Jaggu dan mengatakan bahwa hidup di penjara sangat menyenangkan karena di berikan makanan geratis, dia memperlihatkan itu pada Jaggu di depan polisi PK sengaja buang air kecil sembarangan, sehingga polisi menangkapnya, Jaggu penasaran dan dia menyuap salah satu polisi agar Jaggu bisa masuk dalam penjara dalam beberapa jam.

Saat Jaggu berada dalam penjara dia di ceritakan pada PK tentang kehidupannya Jaggu merasa ketakutan, PK menceritakan bahwa dia itu seorang alien, pada saat itu dia mengambil baju di mobil yang bergoyang tetapi dia tidak tau membedakan pakaian pria dan wanita, sehingga dia memakai rok dan diketawai setiap orang, sehingga dia baru menyadari pakaiannya salah dan mencuri baju dari mobil yang bergoyang lain, dia mendapatkan gambar foto yang bisa ditukarkan dengan sesuatu sehingga dia menukarkan gambar tersebut dengan wortel, sehingga membuat dia untuk mengumpulkan gambar foto tersebut dari semua media hingga dia menyadari hanya gambar pada uang itulah yang dapat ditukarkan. Pada saat dia sedang berjalan dia di tabrak oleh Bhairon Singh dan Pk di bawa oleh laki-laki tersebut, tingkahlaku Pk sanggat aneh sehingga dia di berikan nama Pk oleh lelaki itu, PK selalu memegang tangan wanita, lelaki itu mengira Pk sedang mabuk karena selalu memegang tangan wanita, dia membawa PK ke tempat hiburan malam dan dia memegang tangan wanita yang disewa laki-laki itu selama 6 jam untuk mentransfer bahasa dan tingkah laku manusia.

PK berlari menemui temannya PK mengatakan kepada Bhairon bahwa Remote yang dia miliki telah dicuri. Bhairon memberitahu dia untuk pergi ke Delhi untuk mencari barang tersebut, pada saat di Delhi, PK diusir. PK merasa bingung dan PK sekarang mengikuti orang untuk pergi ke kuil, gereja dan masjid tapi dia semakin benar-benar bingung karena masing-masing memiliki cara yang berbeda untuk ibadah dan dia tidak mengerti bacaan dari ibadah yang dia lakukan dengan aturan yang berbeda.

Setelah PK menceritakan hal tersebut Jaggu  membawanya keluar dari penjara dan membawanya ke tempat kerjanya Jaggu berkata dia akan membantu Pk mencari remotnya Pk membuat cerita dapa acara di televise tentang 'nomor yang salah' dengan tuhan terhadap yang manusia dewa- palsu acara salah sambung dengan Tapasvi Maharaj. lama bersam Juggu PK merasa jatuh cinta dengan Juggu tetapi tidak bisa mengatakan itu ketika ia mengetahui Juggu patah hati, memikirkan pacarnya Sarfaraz yang ada di Pakistan yang dikarenakan perbedaan agama.

Tapasvi merasa resah dengan adanya PK sehingga dia menginginkan bertemu dengan PK dalam acara Stasiun TV, Bhairon Singh menelfon PK dan dia mengatakan akan membantu PK dalam tugasnya dengan membawa lelaki tua yang telah mencuri remotnya itu, padasaat turun dari kereta Bhairon Singh dan lelaki tua itu terkena ledakan bom, dan keduanya sama-sama tewas, PK sangat sedih selalu membawa salah satu sepatu milik temannya yang tewas itu kemana-mana.

Kini dia berada distasiun tv bersama tapasvi awalnya PK Hanya diam kemudian PK berbicara yang membuat semua orang tertakjub  dan menceritakan soal Jaggu ramalan tapasvi yang berbohong, hal tersebut membuat PK menang dan terpaksa Tapasvi harus mengembalikan remote control PK.

PK ditemani Juggu pergi kepadang pasir Pk akan kembali keasalnya. PK jatuh cinta dengan Jaggu tetapi dia tidak mengatakanya demi kebahagian Jaggu bersama kekasihnya yang di Pakistan. Kemudian dia membuat buku tentang PK.

Kesimpulan:

cerita ini menceritakan tentang mahluk asing dengan tingkahnya yang aneh yang datang dari luar angkasa kebumi tetapi dia kecurian barang satu-satunya yang dia miliki, Disebutlah nama PK untuk dia karena tingkahnya yang aneh banyak masyarakat yang tidak menerimanya dalam kehidupan bermasyarakat, PK berusaha mencari tuhan dengan mengikuti seseorang yang pergi ke kuil, gereja, ataupun mesjid, tetapi dia tidak mengerti apa yang di lakukan orang-orang tersebut dan tidak tau cara bacaan dari setiap agama yang dia ikuti, kemudian PK bertemu dengan Juggu dan dia mencintainya, namun pada saat itu Juggu merasa patah hati terhadap kekasihnya, PK tidak mengungkapkannya. di bantu oleh Juggu untuk mencari remotnya, hingga dia menemukannya sehingga PK dapat kembali keruang angkasa kembali.

Nilai Moral :

  • 1. Kita harus menjaga dan tidak boleh ceroboh dalam menjaga barang yang dimiliki
  • 2. Kita harus memiliki keyakinan bahwa tuhan itu ada dan dialah maha petunjuk dalam segala kesulitan yang kita hadapi
  • 3. Kita harus mempercayai semua agama tetapi yang harus kita taati dan yakini adalah satu agama saja
  • 4. pengorbanan akan cinta demi kebahagian wanita yang dia cintai sangat berkesan dan merupakan kasih sayang yang sebenarnya
  • 5. kita di larang untuk berbohong karena berbohong juga merupakan perbuatan yang di benci oleh Tuhan

Novel sebagai Karya Sastra

Karya sastra (novel) pada dasarnya berfungsi sebagai karya seni yang bisa digunakan untuk menghibur diri pembaca dan memiliki struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. Untuk mengetahui makna-makna atau pikiran tersebut, karya sastra (novel) harus dianalisis (Sugihastuti Suharto, 2002: 43), sedangkan (Hill via Sugihastuti Suharto, 2002: 44) novel sebagai salah satu karya satu bentuk cerita rekaan, merupakan sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahami novel tersebut harus dianalisis.

Pengarang dalam menuangkan idenya ke dalam sebuah novel, tentunya terinspirasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Hal itu dikarenakan novel merupakan cerita yang berisi konsentrasi kehidupan manusia yang fundamental dalam kehidupan sosial masyarakat. Stanton (2007: 90) mengatakan bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi secara mendetail.

Karya sastra memiliki aspek yang sangat penting, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua aspek tersebut harus dipandang sama, sehingga tidak boleh meletakkan bahwa unsur intrinsiklah yang lebih penting dari unsur ekstrinsik atau sebaliknya. Terkadang, orang menganalisis unsur intrinsiknya terlebih dahulu, kemudian baru unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam sebuah novel merupakan unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Nurgiyantoro (2010: 4) berpendapat bahwa novel merupakan sebuah karya sastra fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur intrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang yang semuanya tentu bersifat imajiner. Berdasarkan unsur intrinsik tersebut, peneliti hanya akan menjelaskan tema, latar, alur, tokoh dan penokohan, dan perwatakan.

1)      Tema

Tema berupa maksud/arti yang digambarkan oleh cerita, bisa bersembunyi ataupun berupa implikasi dari keseluruan cerita, dan tidak terpisahkan dari suatu cerita. Tema menjadi pikiran dan sesuatu yang menjadi persoalan bagi pengarang. Tema juga dapat dikatakan sebagai persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra yang bersifat netral dan belum memiliki kecenderungan memihak. Hal ini sejalan dengan pendapat Sugiarti (2007: 37) bahwa tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita yang terbentuk dalam sejumlah ide, tendens, motif atau amanat yang sama, yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya.

Setiap karya fiksi mengandung dan menawarkan tema tertentu, namun isi tema tersebut tidak mudah dirunjukkan. Pembaca harus memahami dan menafsirkannya sendiri melalui cerita. Hal tersebut karena tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Selain itu, tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan, yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu.

2)     Setting atau Latar

Latar/setting dalam cerita sangat mendukung totalitas cerita, membuat cerita hidup dan logis. Kelogisan dalam cerita sangat diperlukan, walaupun sastra berupa cerita imajinatif, jadi fungsi setting dalam karya sastra sangat penting karena merupakan pijakan utama dalam suatu cerita secara konkret dan jelas. Hal tersebut berguna untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010: 217) yang mengatakan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu yang mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan demikian, pembaca merasa mudah untuk memainkan daya imajinasinya dan berperan kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar.

Sebuah novel seringkali mengungkapkan secara langsung latar fisik, yang menyangkut latar tempat dan waktu. Menurut Wellek (1990: 283-291) menyatakan bahwa latar merupakan salah satu unsur pembentuk novel yang cenderung bersifat simbolis dan dalam teori modern disebut atmosphere (suasana) dan tone (nada). Latar dapat secara langsung mempengaruhi tokoh. Selain itu, latar dapat menggugah emosi tokoh. Istilah lain dari suasana emosi ini adalah atmosfer. Atmosfer mencerminkan emosi tokoh atau merupakan bagian dari dunia sekeliling tokoh. Itu semua digunakan dalam rangkah memahami tingkah laku tokoh. Diungkapkan Stanton (2007: 26), latar cerita adalah lingkungan peristiwa, yaitu dunia cerita tempat terjadinya peristiwa. Diungkapkan lebih lanjut bahwa latar adalah lingkungan yang berfungsi sebagai metonomia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar dapat berfungsi sebagai penyebab keadaan fisik dan sosial tokoh.

3)      Alur atau Plot

Alur memiliki urutan peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. Peristiwa tersebut dihubungkan secara sebab-akibat yang memberikan informasi atas unsur-unsur cerita dengan yang lainnya. Alur merupakan rangkaian peristiwa atau kejadian yang sambung menyambung dalam sebuah cerita atau dapat dikatakan sebagai suatu jalur lintasan urutan peristiwa yang berangkai sehingga menghasilkan suatu cerita (Sugiarti, 2007: 62). Istilah alur/plot biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang berhubungan secara kausal/sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Alur/plot merupakan tulang punggung cerita. Dalam cerita, pengarang menyajikan peristiwa-peristiwa yang tidak hanya melibatkan kejadian-kejadian fisik saja, seperti percakapan dan tindakan, tetapi peristiwa-peristiwa dapat juga mengakibatkan perubahan sikap dan pandangan hidup tokoh. Keputusan yang diambil tokoh dapat mengubah jalannya peristiwa.

4)     Tokoh

Menurut Nurgiyantoro (2010: 65) istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca. Pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu kepada tokoh-tokoh fiksi dalam cerita, misalnya merasa akrab, simpati, empati, benci, antipasti, atau berbagai reaksi afektif lainnya. Segala apapun yang dialami dan dirasakan tokoh, seolah-olah pembaca turut merasakan dan mengalami. Selain itu, banyak tokoh cerita yang diidolakan oleh pembaca, sehingga kehadirannya dalam cerita dirasakan sebagai kehadiran di dunia nyata.

Perwatakan merupakan salah satu unsur penting yang memiliki peranan besar untuk menentukan keutuhan dan keartistikan sebuah karya fiksi. Perwatakan merupakan pemberian sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh yang terdapat pada cerita (Sugiarti, 2007: 94). Perwatakan berhubungan dengan penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Perwatakan yang baik ialah perwatakan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki.

ILALANG MIMPI

Rembesan cahaya di celah dedaunan mulai terpancar

Hembusan semilir angin mulai menghampiri

Di atas rumput kering, mata ini menjulang tajam

Bentangan langit yang semu pun

Menjadi pandangan indah

Sambil bersilah kaki dalam pembaringannya

 

Dari tengah ilalang-ilalang mimpi

Ada cerita tentang sabana-sabana harapan

Mengikis sedikit demi sedikit

Tentang segelumit kisah saat itu

Bukan lagi tentang kidung lirih anak gembala

Dengan kaki telanjang menyusuri padang bersama kawanan gembalanya

Tetapi tentang mentari yang akan terus berkilau dengan cahanya

Menggapai mimpi sembari mata masih terbuka

 

Ah...

Mata saat ini benar-benar semakin menjulang tajam

Menantikan bentangan langit yang cerah

Bukan untuk kalian

Bukan juga untuk ku

Tetapi

Untuk mereka

Dengan lantunan kisahnya.

 

©Ngalam23052016

Template Makalah (Non Penelitian)

JUDUL  (Judul Artikel Ditulis dengan Font Times New Roman 14, Maksimum 14 Kata untuk Bahasa Indonesia dan 12 Kata untuk Bahasa Inggris,)    ...