Representasi
berasal dari bahasa Inggris, yaitu representation. Representasi adalah
perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili, atau perwakilan (Depdiknas,
2008: 1167). Representasi bisa
juga diartikan sebagai gambaran (Rafiek, 2010:
67). Representasi merekonstruksi
serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi sebuah makna
dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna dalam Putra, 2012: 17).
Jika dikaitkan
dengan bidang sastra, representasi
dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena
sosial. Penggambaran ini tentu saja
melalui pengarang sebagai kreator. Representasi
dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa
karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra
dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (mimesis) (Teeuw
dalam Putra, 2012: 17).
Menurut Sumardjo
(dalam Putra, 2012: 18), representasi adalah (1) penggambaran
yang melambangkan atau mengacu pada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia, (3) penggambaran karakteristik general
dari alam manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentuk-bentuk ideal
yang berada di balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewat pandangan
mistis-filosofis seniman. Keempat
klasifikasi yang diungkapkan oleh Sumardjo menunjukkan bahwa selain bersifat
objektif, representasi juga bersifat
subjektif. Klasifikasi satu dan dua menunjukkan bahwa representasi memiliki sifat yang objektif
karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat, dirasakan, dialami
langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi tiga dan empat
menunjukkan bahwa representasi bersifat subyektif karena realitas digambarkan secara subjektif melalui struktur
mental, struktur nalar senimannya. Pandangan Sumardjo tentang
representasi sangat ditentukan oleh kemampuan interpretasi sastrawan.
Faruk (dalam Putra, 2012: 19) mengungkapkan bahwa
representasi sebagai bagian dari karya sastra merupakan sebuah kombinasi antara
kekuatan fiktif dan imajinatif. Dua
kekuatan ini mampu menangkap secara langsung bangunan dunia sosial yang memang
berada di luar dan melampaui dunia pengalaman langsung, objek, serta
gerak-gerik. Karya sastra dapat
merepresentasikan objek dan gerak-gerik yang berbeda dari objek dan gerak-gerik
yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi
strukturasi atas objek dan gerak-gerik, sastra
dapat merepresentasikan persamaannya melalui strukturasi dalam dunia sosial.
Dalam memahami representasi, hendaknya kita mengingat kembali hakikat karya sastra. Sebuah karya sastra tercipta atas faktor imajinasi pengarang. Imajinasi pengarang umumnya mengacu pada kehidupan nyata, baik itu yang dialami oleh si pengarang sendiri, maupun dari fenomena sosial apa yang terjadi di sekitarnya. Dalam sebuah penggambaran imajinatif pengarang dalam karya sastra, biasanya terdapat interpretasi pengarang yang disajikan dalam bentuk alur cerita (novel atau cerpen) atau pun secara tersirat dalam kandungan teks (puisi, syair, pantun, dan lain-lain). Representasi dalam dunia sastra tidak sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu, akan tetapi, lebih mengarah kepada penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif pengarang tersebut. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomena sosial dalam karya sastra sangat dipengaruhi oleh ras, waktu, serta lingkungan yang melatarbelakanginya.
Dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada pendapat Sumardjo yang mengatakan bahwa representasi adalah penggambaran (pencerminan) yang melambangkan kenyataan seperti yang diuraikan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar