Senin, 23 Mei 2022

Teori Romantisme dan Psikoanalisis Memahami teori Romantisme dan Psikoanalisis dalam Karya Sastra


Romantisme :

Romantisme merupakan sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke 18 pada masa Revolusi Industri. Gerakan ini merupakan revolusi melawan norma-norma kebangsawanan 

Gerakan ini menekankan emosi yang kuat sebagai sumber dari pengalaman estetika, memberikan tekanan baru terhadap emosi-emosi seperti rasa takut, ngeri, dan takjub yang dialami ketika seseorang menghadapi yang sublim dari alam. Gerakan ini mengangkat seni rakyat, alam, dan kebiasaan, serta menganjurkan epistemologi yang didasarkan pada alam, termasuk aktivitas manusia yang dikondisikan oleh alam dalam bentuk bahasa, kebiasaan dan tradisi.

Romantisme juga dapat dikatakan sebagai karya sastra yang lebih mentingkan nilai-nilai rasa dalam pemaparanya, nilai rasa inilah yang menjadi suatu gerakan membongkar gerbong kebebasan ekspresi dari seniman dan sastrawan dalam melawan dogma dan dokrin yang selalu mengedepankan ideologi rasionalitas

Ideologi rasionalitas hanya memandang sesuatu yang nyata di dunia ini sehingga jarang menggunakan pendekatan perasaan dan nilai estetis dalam mengelola alam.

Ciri-ciri romantisme yang dapat dijadikan dasar adalah : (1) individualisme, (2) mementingkan perasaan daripada rasio, (3) kekaguman pada alam dan (4) sifat sentimentalisme dan kisah-kisah yang bertemakan percintaan atau kisah yang bertema melankolis. 

Di Indonesia, kita bisa membaca pada periode Pujangga Baru(1930—1945)

Pada periode ini jenis sastra cerita pendek banyak digunakan sebagai sarana pernyataan seni atau yang beraliran romantik.

Karya sastra romantik misalnya: Buah Rindu Karya Amir Hamza. Layar Terkembang dan Tebaran Mega Karya Takdir Alisjahbana. Belenggu karya Arminj Pane dan lain-lain.

 

Relevansi dan defenitif

Relevansi analisis psikoanalisis dalam karya sastra akan sangat diperlukan pada saat tingkat peradaban mencapai kemajuan, pada saat manusia kehilangan kepribadian

Secara defenitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiawaan yang terkandung dalam karya sastra(Abrams, 1979)

Ada tiga cara yang dilakukan untuk memahami hubungan antar psikologi dan sastra yakni, kejiwaan pengarang sebagai penulis/kejiwaan tokoh fiksional/ kejiwaan pembaca. Dengan demikian karya sastra akan dipahami secara proporsional, apakah sastra merupakan perilaku baik, lamunan, impian, dorongan seks, dan seterusnya (Endaswara, 2008)


Psikoanalisis Klasik

Struktur kepribadian manusia,memiliki tiga tingkat kesadaran yaitu sadar (Consious), prasadar(preconsious) dan ketidaksadaran(unconsious). 

Pada tahun 1923 Freud mengenalkan tiga model struktur yang lain, yakni Id, ego, dan superego

Sadar(cousious) adalah tingkat kesadaran yang yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu, hanya sebagian kecil sajadari kehidupan mental yang masuk ke dalam consious ini.

Prasadar(preconsious) adalah tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antarasadar dan tak sadar. Pengalaman yang ditinggal semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, sehingga akan ditekan ke daerah prasadar.

Taksadar (unconsious) adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran. Pada areal ini berisi tentang insting yang dibawah sejak lahir. 


Id, Ego, dan Superego

Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawah sejak lahir. Dari Id ini kemudian muncul Ego dan Superego. Id Beroperasi di daerah uncossious. Id berhubungan dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis

Id beroperasi pada kenikmatan

Id hanya mampu membayangkan sesuatu tanpa membedakan dengan kenyataan. Id tidak mampu membedakan benar- salah. Alasan inilah Id memunculkan Ego.

Ego adalah pelaksana dari kepribadian yang memiliki dua tugas utama yakni, 

Memilih stimulus mana yang akan direspon dan insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan.

Kapan kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan peluang dan resiko. Ego bekerja untuk ID

Superego adalah kekuatan moral dan etik dalam kepribadian kesadaran yang bekerja memakai prinsip idealistic principle, sebagai lawan dari prinsip kepuasaan Id dan Ego 


Penekanan kepribadian oleh Sigmund Freud didasarkan pada pentingnya seksualitas

Fase Oral (usia 0-1) kenikmatan diperoleh dari rangsangan menggigit, mengunyah,menelan, memuntahkan makanan dan lain-lain (fase penentu masa depan)

Fase Anal (usia 1- 2/3) fase ini dubur menjadi titik tumpuh kateksis dan anti kateksis yang prosesnya tergantung tekanan orang tua terhadap anak 

Fase Falis (usia 2/3-5/6) daerah kelamin merupakan daerah sensitif terpenting yang berpengaruh pada cara pandang anak terhadap keberadaan ayah, Ibu, saudara lelaki dan saudara perempuan dalam persaingan Falis.

Kesimpulan: teori psikoanalisis klasik Sigmund Freud

Kepribadian manusia hanya berdasarkan pada pentingnya seksualitas sehingga mengabaikan kebutuhan jiwa yang lainya.

Segala kepribadian dan perkembangan manusia selalu didasarkan pada proses seksualitas

Masa depan manusia dalam berpikir dan bertingkah laku selalu dipengaruhi oleh faktor seksualitas 


Psikoanalisis dalam karya sastra.

Novel karya Ahmad Tohari “Ronggeng dukuh Paru” Strintil dan Rasus

Novel  karya Ayu Utami “saman” kucing-kucing lapar bersepatu lars”

Cerpen karya Putu Wijaya “Suamiku, berbulan-bulan saya menantikan suratmu, sampai sekarang tak sebuahpun yang kunjung datang,.... sejak dulu saya sudah curiga dan menaruh firasat tidak enak”,...” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template Makalah (Non Penelitian)

JUDUL  (Judul Artikel Ditulis dengan Font Times New Roman 14, Maksimum 14 Kata untuk Bahasa Indonesia dan 12 Kata untuk Bahasa Inggris,)    ...