Grebstein (dalam Damono, 1978: 4) menyatakan bahwa karya sastra
tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang telah
menghasilkannya. Dapat dipahami bahwa, karya sastra tidak dapat berdiri
sendiri tanpa adanya pengaruh lingkungan masyarakat sebagai pencipta karya
sastra.
Menurut Damono (1978: 8) perbedaan
yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah
yang objektif, sedangkan sastra
menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia
menghayati masyarakat dengan perasaannya.
Sosiologi bersifat kognitif, sedang
sastra bersifat afektif. Lebih lanjut
Damono mengatakan, persamaan objek
yang digarap menyebabkan ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya nanti
sosiologi akan dapat menggantikan kedudukan karya sastra (novel atau cerpen). Namun, ada satu hal yang perlu diingat dan merupakan sesuatu yang jelas
dari sastra yaitu mempunyai satu kekhasan atau keunikan yang tidak dimiliki
oleh sosiologi. Oleh sebab itu, keduanya tampak memiliki kemungkinan
yang sama untuk berkembang, saling
bekerja sama dan melengkapi. Meskipun
sosiologi dinilai tidak akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik yang terdapat
dalam karya sastra, namun sosiologi
dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dap at dikatakan bahwa tanpa sosiologi pemahaman
tentang sastra maupun telaah sosial memerlukan metode dan orientasi yang
berbeda-beda.
Bersama-sama sosiologi, sastra akan diungkap agar semakin jelas kebermanfaatannya
(Endraswara, 2013: 1). Menurut Pradopo (1993: 34), studi sosiologis dalam kesusastraan bertujuan untuk mendapatkan
gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan
masyarakat. Sedangkan, Hutomo (dalam Endraswara, 2013: 1) menyatakan bahwa sosiologi
sastra adalah bagian ilmu sastra. Esensi
sosiologi sastra adalah memandang karya sastra sebagai produk sosial budaya, dan bukan hasil dari estetik semata. Nada historis penting dalam studi
sosiologi sastra untuk menangkap kebermanfaatan sastra dari sebuah periode.
Pernyataan ini dapat dipahami bahwa
karya sastra tidak dapat terlepas dari sosiologi yang meskipun karya sastra merupakan
pra-pemikiran imajinatif, tetapi
pengarang karya sastra berasal dari masyarakat dan mampu membangun imajinasi
yang mirip dengan kehidupan sosial yang nyata. Meskipun antara sastra dengan sosiologi adalah dua bidang ilmu
yang berbeda (interdisipliner) tetapi mampu
menjadi bidang ilmu baru yaitu sosiologi sastra.
Pengkajian karya
sastra yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra cukup beragam. Wellek dan Warren (dalam Damono, 1978: 3) mengungkapkan bahwa
setidaknya ada tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu: pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya
sastra; kedua, sosiologi sastra yang
mempermasalahkan karya sastra itu sendiri; dan ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh
sosial karya sastra.
Dari Ian Watt, (dalam Damono, 1978: 3-4) juga mengungkapkan ada tiga macam pendekatan dalam
sosiologi sastra, yaitu : pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi
sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini, Damono juga menambahkan faktor-faktor sosial yang bisa
memengaruhi pengarang sebagai individu disamping pengaruh yang masuk ke dalam
isi karya sastranya. Hal-hal utama
yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang
memperoleh mata pencahariannya; (b) sejauh mana pengarang menganggap
pekerjaannya sebagai profesi; dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, Sastra sebagai cermin
masyarakat, hal-hal utama yang
mendapat perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada
waktu karya sastra itu ditulis; (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang
memengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya; (c) sejauh mana
ganre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh
masyarakat. Ketiga, fungsi sosial
sastra. Dalam hubungan ini ada tiga
hal yang menjadi perhatian: (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai
perombak masyarakatnya; (b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai
penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan (a)
dengan (b) di atas.
Laurenson (dalam Fananie 2000: 133) mengatakan bahwa ada tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu: pertama, perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; kedua, perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan ketiga, model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari tradisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam mengkaji karya sastra terdapat tiga pokok pendekatan yaitu pendekatan sosiologi pengarang, pendekatan sosiologi karya, dan pendekatan sosiologi pembaca. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada isi karya sastra dengan pendekatan sosiologi karya sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar