Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari kata coloni, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi ekploitasi lainnya. Konotasi negatif kolonial timbul sesudah terjadi intraksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa. Penaklukan terhadap suatu wilayah tertentu telah dilakukan jauh sebelumnya misalnya, tahun 1122 SM dinasti Shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke 2 M menguasai Armenia hingga lautan Atlantik, tahun 712 lembah sungai Indus ditaklukkan oleh Muhammad bin al- Qassim, bangsa Mongol menguasai Timur tengah dan Cina, bangsa Aztec abad ke 14 dan kerajaan Inca abad ke 15 menaklukkan bangsa-bangsa lain disekitarnya, dan sebagainya. Aksi kolonialisme Negara-negara Eropah modern baru mulai sekitar abad ke 16.
Dikaitkan dengan teori-teori postmodernisasi yang lain, studi postkolonial termasuk relatif baru. Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teri poskolonialisme lahir. Proyek postkolialisme pertama kali dikemukakan oleh Frants fanon dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks and the Wretched of the Earth (1967). Fanon adalah seorang psikiater yang mengembngkan analisis yang sangat cermat mengenai dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Fanon menyimpulkan bahwa melalui diktomi kolonial, penjajah –terjajah, wacana oriental telah melahirkan alienasi dan menganalisasi psikologis yang sangat dahsyat.
Sebagai varian postrukturalisme maka konsep-konsep dasar postkolonialisme sama dengan postrukturalisme, seperti penolakan terhadap narasi besar, oposisi biner, dan proses sejarah yang terjadi secara monolitik. Salah satu cara yang ditawarkan adalah membongkar strutur ideology melalui mekanisme arkeologi dan genealogi. Cara pertama yang dilakukan melalui penggalian (excavation) terhadap masa lalu,, sedangkan cara yang kedua mencoba menemukan kontinuitas sekaligus diskontinuitas historis objek. Menurut Foucault, objek kajian yang dimaksudkan disebut arsip, seperangkat wajana yang diungkapkan secara actual, baik dengan cara ditulis,disusun, diucapkan, dan diungkapkan kembali, maupun ditransformasikan. Sepintas lalu (Dean, 1994 : arkeologi dan geneologi bersifat saling melengkapi, tetapi pada dasarnya geneologilah yang dominan sebab semata-mata dalam melacak jaringan wacana ditemukan sekaligus disingkirkan subjek yang memiliki otoritas.
Seperti hypogram dalam teori interteks, genealogi foucaulation ( Ritzer, 2003: 67-81; Sarup,2003: 100-101) bukan usaha menemukan asal-usul sebagaimana dipahami secara tradisional, sebagai arketipe. Arkeologi mencoba menggali situs lokal dalam rangka menemukan irisan diskursif, sedangkan geneologi mencoba menemukan jaringan wacana, bagaimana diskursus diperaktikkan. Sama dengan postrukturalisme, ciri khas postkolonialisme dengan demikian adalah dekontruksi terhadap subjek tunggal, narasi besar. Dalam analisis terjadi tumpang tindih dengan postrukturalisme. Meskipun demikian, sesuai dengan objeknya, ciri khas postkolonialisme adalah berbagai pembicaraan yang berkaitan dengan kolonialisme, khususnya orientalisme. Oleh karena itulah narasi terbesar postkolonialisme adalah orientalisme. Teori adalah konsep-konsep diperoleh melalui seleksi dan akumulasi ilmu pengetahuan sepanjang sejarahnya sehingga mampu memecahkan masalah yang terjadi pada zamannya. Teori postkolonialisme dibangun atas dasar peristiwa sejarah terdahulu, pengalaman pahit bangsa Indonesia selama tiga setengah abad, khususnya dibawah kolonialisme imperium Belanda. Teori postkolonialisme memiliki arti penting, dianggap mampu untuk mengungkap masalah-masalh tersembunyi yang terkandung dibalik kenyataan yang pernah terjadi dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Secara defenitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial. Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang merdeka baru setengah abad.
2. Postkolonialsme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, sedangkan kita sendiri juga dihadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bertanah air.
3. Sebagai teori baru, sebagai varian postrukturalisme, postkolonialisme memperjuangkan narasi kecil, meggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan.
4. Postkolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan semata-mata dalam bentuk fisik melainkan psike. Model penjajahan terakhir masih berlanjut.
5. Postkolonialisme bukan semata-mata teori melainkan suatu kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan seperti memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
Teori postkolonialisme semakin banyak dibicarakan, sekaligus memperoleh tempat di kalangan ilmuwan satu dasawarsa sesudah terbitnya buku Frans Fanon(1960-an) dengan adanya temuan Edward Said mengenai pemahaman baru terhadap orientalisme. Artinya, kelahiran teori postkolonialisme pada dasarnya diawali dengan pemahaman ulang tentang orientalisme. Meskipun demikian, dalam analisis, orientalisme dengan postkolonialisme seolah-olah merupakan dua kutub yang bertentangan, dua ideologi dengan muatan yang berbeda, tetapi selalu hadir secara bersama-sama sebagai oposisi biner.
Tidak dipermasalahkan nasionalitas penemu teori. Pada puncak pencapaian intelektualitas tertinggi, pada tingkat konsep-konsep, manusia berada pada tataran universal, bebas dari ikatan-ikatan bangsa, Negara, dan tanah air. Masalah yang penting, pemahaman tersebut dapat memberikan makna baru terhadap kejadian-kejadian yang sudah terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, yang implikasinya masih dirasakn sekarang dalam waktu yang tidak biasa ditentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar