Karya sastra
(novel) pada dasarnya berfungsi sebagai karya seni yang bisa digunakan untuk
menghibur diri pembaca dan memiliki struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar merupakan serangkaian tulisan yang
menggairahkan ketika dibaca, tetapi
merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. Untuk mengetahui makna-makna atau
pikiran tersebut, karya sastra
(novel) harus dianalisis (Sugihastuti Suharto, 2002: 43), sedangkan
(Hill via Sugihastuti Suharto, 2002: 44)
novel sebagai salah satu karya satu bentuk
cerita rekaan, merupakan sebuah
struktur yang kompleks. Oleh karena
itu, untuk memahami novel tersebut
harus dianalisis.
Pengarang dalam
menuangkan idenya ke dalam sebuah novel, tentunya
terinspirasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Hal itu dikarenakan novel merupakan
cerita yang berisi konsentrasi kehidupan manusia yang fundamental dalam
kehidupan sosial masyarakat. Stanton
(2007: 90) mengatakan bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau
sedikit karakter, dan berbagai peristiwa
rumit yang terjadi secara mendetail.
Karya sastra
memiliki aspek yang sangat penting, yaitu
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua
aspek tersebut harus dipandang sama, sehingga
tidak boleh meletakkan bahwa unsur intrinsiklah yang lebih penting dari unsur
ekstrinsik atau sebaliknya. Terkadang, orang menganalisis unsur intrinsiknya
terlebih dahulu, kemudian baru unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam
sebuah novel merupakan unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun
cerita. Nurgiyantoro (2010: 4)
berpendapat bahwa novel merupakan sebuah karya sastra fiksi yang menawarkan
sebuah dunia, dunia yang berisi model
kehidupan yang diidealkan, dunia
imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur intrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang yang
semuanya tentu bersifat imajiner. Berdasarkan
unsur intrinsik tersebut, peneliti
hanya akan menjelaskan tema, latar, alur, tokoh dan penokohan, dan
perwatakan.
1) Tema
Tema berupa maksud/arti yang digambarkan oleh cerita, bisa bersembunyi ataupun berupa
implikasi dari keseluruan cerita, dan
tidak terpisahkan dari suatu cerita. Tema menjadi
pikiran dan sesuatu yang menjadi persoalan bagi pengarang. Tema juga dapat dikatakan sebagai persoalan yang diungkapkan
dalam sebuah cipta sastra yang bersifat netral dan belum memiliki kecenderungan
memihak. Hal ini sejalan dengan
pendapat Sugiarti (2007: 37) bahwa tema merupakan ide yang mendasari suatu
cerita yang terbentuk dalam sejumlah ide,
tendens, motif atau amanat yang
sama, yang tidak bertentangan satu
dengan yang lainnya.
Setiap karya fiksi mengandung dan menawarkan tema tertentu, namun isi tema tersebut tidak mudah
dirunjukkan. Pembaca harus memahami
dan menafsirkannya sendiri melalui cerita.
Hal tersebut karena tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka bersifat menjiwai seluruh bagian
cerita. Selain itu, tema disaring dari motif-motif yang
terdapat dalam karya yang bersangkutan, yang
menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik
dan situasi tertentu.
2) Setting atau Latar
Latar/setting dalam cerita sangat mendukung totalitas cerita, membuat cerita hidup dan logis. Kelogisan dalam cerita sangat
diperlukan, walaupun sastra berupa
cerita imajinatif, jadi fungsi
setting dalam karya sastra sangat penting karena merupakan pijakan utama dalam
suatu cerita secara konkret dan jelas. Hal
tersebut berguna untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dan
menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro
(2010: 217) yang mengatakan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu yang mengarah pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan demikian, pembaca
merasa mudah untuk memainkan daya imajinasinya dan berperan kritis sehubungan
dengan pengetahuannya tentang latar.
Sebuah novel seringkali mengungkapkan secara langsung latar fisik, yang menyangkut latar tempat dan waktu. Menurut Wellek (1990: 283-291)
menyatakan bahwa latar merupakan salah satu unsur pembentuk novel yang
cenderung bersifat simbolis dan dalam teori modern disebut atmosphere (suasana)
dan tone (nada). Latar dapat secara
langsung mempengaruhi tokoh. Selain
itu, latar dapat menggugah emosi
tokoh. Istilah lain dari suasana
emosi ini adalah atmosfer. Atmosfer
mencerminkan emosi tokoh atau merupakan bagian dari dunia sekeliling tokoh. Itu semua digunakan dalam rangkah
memahami tingkah laku tokoh. Diungkapkan
Stanton (2007: 26), latar cerita
adalah lingkungan peristiwa, yaitu
dunia cerita tempat terjadinya peristiwa.
Diungkapkan lebih lanjut bahwa latar adalah lingkungan yang berfungsi
sebagai metonomia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar dapat berfungsi sebagai penyebab
keadaan fisik dan sosial tokoh.
3) Alur atau Plot
Alur memiliki urutan
peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. Peristiwa
tersebut dihubungkan secara sebab-akibat yang memberikan informasi atas
unsur-unsur cerita dengan yang lainnya. Alur
merupakan rangkaian peristiwa atau kejadian yang sambung menyambung dalam
sebuah cerita atau dapat dikatakan sebagai suatu jalur lintasan urutan
peristiwa yang berangkai sehingga menghasilkan suatu cerita (Sugiarti, 2007: 62). Istilah alur/plot biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang
berhubungan secara kausal/sebab akibat, peristiwa
yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Alur/plot merupakan tulang punggung
cerita. Dalam cerita, pengarang menyajikan
peristiwa-peristiwa yang tidak hanya melibatkan kejadian-kejadian fisik saja, seperti percakapan dan tindakan, tetapi peristiwa-peristiwa dapat juga
mengakibatkan perubahan sikap dan pandangan hidup tokoh. Keputusan yang diambil tokoh dapat mengubah jalannya peristiwa.
4) Tokoh
Menurut Nurgiyantoro (2010: 65) istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca. Pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu kepada tokoh-tokoh fiksi dalam cerita, misalnya merasa akrab, simpati, empati, benci, antipasti, atau berbagai reaksi afektif lainnya. Segala apapun yang dialami dan dirasakan tokoh, seolah-olah pembaca turut merasakan dan mengalami. Selain itu, banyak tokoh cerita yang diidolakan oleh pembaca, sehingga kehadirannya dalam cerita dirasakan sebagai kehadiran di dunia nyata.
Perwatakan merupakan salah satu unsur penting yang memiliki peranan besar untuk menentukan keutuhan dan keartistikan sebuah karya fiksi. Perwatakan merupakan pemberian sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh yang terdapat pada cerita (Sugiarti, 2007: 94). Perwatakan berhubungan dengan penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Perwatakan yang baik ialah perwatakan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar