Sabtu, 28 Mei 2022

Teori Konflik Politik

Menurut Susan (2010: 4-5) memahami dunia konflik akan membawa pada gambaran kompleks dari mobilisasi berbagai sumber daya konflik, seperti ideologi, massa, kekerasan dan militer. Setiap konteks, ruang dan waktu, dari narasi konflik melahirkan buah kesedihan atau kesenangan, kebersamaan atau perceraian, serta kehancuran atau pemecahan masalah. Lebih lanjut, Susan mengatakan studi konflik telah dimulai sejak perkembangan ilmu sosial klasik sampai abad postmodern terutama melalui disiplin ilmu sosiologi, psikologi dan hubungan internasional. Studi ini menjadi perhatian serius dan berkembang di Indonesia melalui peristiwa konflik kekerasan baik dalam etnis, agama, dan sapartisme pasca kekuasaan Orba (Orde Baru). Menurut Kornblurn (dalam Susan, 2010: 5) konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik.

Susan (2010: 8) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk konfliktis (homo chonflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Lebih lanjut, Susan menyatakan konflik secara sederhana adalah pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Unsur-unsur yang ada di dalam konflik adalah persepsi, aspirasi, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi, maka akan ditemukan pula aspirasi dan aktor.

Surbakti (1992: 9) menyatakan bahwa masyarakat dan sistem politik terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing memiliki kepentingan yang bertentangan sehingga masyarakat dan sistem politik selalu berada dalam keadaan ketidakseimbangan dan konflik. Lebih lanjut, menurut Surbakti (1992: 151) istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik politik dirumuskan secara luas sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangaan di antara sejumlah individu, kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Sedangkan, secara sempit konflik politik dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, menentang perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara partisipan politik.

Surbakti (1999: 1) mendefinisi politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Dalam KBBI Luring politik diartikan sebagai: 1) (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan lain sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; 3) cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan. Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan untuk mengatur negara.

Adapun jenis konflik menurut Saudi dkk, (dalam Susan, 2010: 99) yaitu: 1) koflik vertikal adalah konflik antara elite dan massa (rakyat). Elit yang dimaksud adalah para pengambil kebijakan di tingkat pusat (pemerintahan), kelompok bisnis atau aparat militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban di kalangan massa (rakyat); 2) konflik horizontal yakni konflik yang terjadi di kalangan massa atau antarmassa (rakyat). Biasanya konflik antar-agama.

Terdapat dua tipe konflik menurut Surbakti (2010: 195) yaitu konflik positif dan konflik negatif.

1) Konflik positif ialah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan forum-forum terbuka yang lain.

2) Konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti, kudeta, separtisme, terorisme, dan revolusi.

Paul Conn (dalam Surbakti 2010: 196) mengemukakan situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (no-zero-sum conflict). 1) konflik memang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri utama dari struktur konflik menang-kalah adalah tidak mungkin diadakan kerja sama dan kompromi; 2) konflik menang-menang memiliki ciri bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Kompromi adalah salah satu fungsi politik yang utama. Masyarakat demokratis biasanya memutuskan konflik secara kompromi.

Dari beberapa pendapat ahli yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa konflik politik adalah pertentangan antara dua belah pihak atau lebih yang bersaing merebut suatu tujuan yang sama untuk kepentingan yang berbeda yang disertai dengan tindakan kekerasan dan melibatkan pemerintah baik dalam penyelesaiannya maupun saat terjadinya konflik.

Johan Galtung sebagai salah satu ilmuwan sosial menggunakan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis konflik. Galtung mengemukakan bahwa individu, kelompok, dan organisasi selalu membawa kepentingan masing-masing, baik kepentingan ekonomis maupun politis. Proses kepentingan ini akan membawa bentuk perilaku-perilaku tertentu yang menciptakan kontradiksi dan situasi ketegangan (Susan, 2010: 90).

Johan Galtung menggambarkan konflik dalam segitiga konflik yang berfungsi untuk menganalisis sebab akibat konflik sosial, yang terdiri dari tiga dimensi yaitu sikap, perilaku, dan kontradiksi. Pertama, sikap adalah persepsi anggota etnis tentang isu-isu yang berkaitan dengan kelompok lain. Kedua, perilaku dapat berupa kerjasama, persaingan atau paksaan, suatu gerak tubuh yang menunjukkan persahabatan dan permusuhan. Ketiga, kontradiksi adalah kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan perilaku sebagai proses, artinya kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak etnis-etnis yang hidup dalam lingungan sosial.

Galtung mengatakan bahwa di dalam konflik terdapat kontradiksi, sesuatu yang menghalangi sesuatu yang lain. Dengan kata lain, terdapat suatu masalah (Galtung, 2003: 157). Situasi tersebut bisa mengarah pada munculnya kekerasan apabila tidak segera diselesaikan. Situasi ini dapat pula disebut sebagai formasi konflik elementer atau atom-atom konflik yaitu (1) sengketa adalah dua orang, atau aktor yang mengejar tujuan yang sama, (2) dilema adalah satu orang, atau aktor, yang mengejar dua tujuan yang berbeda (Johan Galtung, 2003: 157-158). Sengketa dapat dengan mudah mengarah pada upaya-upaya untuk merugikan atau mencederai aktor yang menghalangi jalannya untuk mencapai tujuan, dengan kata lain penghancuran terhadap orang lain. Konflik membangkitkan energi, masalahnya adalah bagaimana menyalurkan energi tersebut agar tidak menimbulkan ko nflik kekerasan.

Konflik bersifat problematis, juga dapat mengarah pada perilaku konstruktif, seperti postur meditatif dan dalam, yang juga dikenal sebagai “dialog batin” dan “dialog luar” dengan orang lain mengenai masalah-masalah. Perilaku destruktif bersifat menghancurkan, melukai dan merugikan, sedangkan perilaku konstruktif bersifat membangun. Kedua hal tersebut bisa hadir pada tempat dan waktu yang sama dan pada orang yang sama pula.

Dalam konflik terdapat dua sisi, yaitu sisi manifest yang dapat diamati dengan perilaku, dan aspek laten yang dapat diamati dengan sikap dan kontradiksi.

Suatu kontradiksi mungkin dialami sebagai frustasi, saat suatu tujuan dihalangi oleh sesuatu yang mengarah pada agresif sebagai sikap dan agresi sebagai perilaku. Kekerasan melahirkan kekerasan. Masalah mendasarnya ialah bahwa proses di atas mungkin juga dimulai dari sikap atau dari prilaku. Jika sikap mengambil suatu bentuk sikap agresif, yaitu emosi permusuhan dan pengakuan negatif atas orang lain (Feindbild), maka situasi yang muncul adalah tentang energi konflik negatif yang terkait dengan kontradiksi, mungkin akibat akumulasi pengalaman di masa lalu, misalnya dengan mendekati konflik terlalu negatif.

Dalam suatu sengketa, dua aktor saling mengamati perilaku yang lain, mungkin juga perilaku mereka sendiri. Melalui dialog batin mereka mungkin meningkatkan kesadaran mereka sendiri tentang sikap dan kontradiksi, sehingga menjadi panduan satu sama lain dalam memahami diri mereka sendiri (Galtung, 2003: 163). Pada situasi konflik, kita dapat mengamati tingkah perilaku seorang atau lebih (aktor), baik kenyamanan total (total ease) maupun ketidaknyamanan total (total di-sease) atau keduanya pada diri aktor. Suatu situasi dapat dianggap sebagai ‘ketegangan’ jika ketidaknyamanan bersifat dominan, dan sebaliknya ‘ketenangan’ (dis-tension) dianggap kenyamanan jika bersifat domininan, dengan mengingat bahwa keduanya tidak meniadakan satu sama lain. Namun, baik ketegangan maupun ketenangan (aspek positifnya, daya tarik) dapat mengendalikan suatu konflik di manapun. Selanjutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik berpeluang besar untuk berperilaku menurut kecenderungan berperilaku masing-masing, seperti iblis atau malaikat, keduanya atau tidak keduanya, bergantung pada kepribadian, yang tentu saja mungkin dibentuk oleh konflik-konflik di masa lalu (Galtung, 2003: 164).

Aktor dalam konflik politik adalah subjek yang sadar akan apa itu (what is) (kognisi), apa yang dia inginkan (kem auan) dan karena alasan tersebut seharusnya menjadi (ought to be), dan bagaimana dia merasa (emosi), misalnya, mengenai hubungan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya. Jika apa yang seharusnya (ought to be) juga adalah apa yang ada (is), maka mungkin dia mengatakan ‘Aku baik-baik saja, terima kasih’, jika tidak ‘Aku kurang sehat’ mungkin merupakan formulasi verbal keadaan batin yang tersiksa.

Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku dan pada gilirannya melahirkan kontradiksi atau situasi dan sebaliknya, situasi bisa melahirkan sikap dan perilaku, Rombostham, Wood, dan Miall (dalam Susan, 2010: 91). Dalam konflik terdapat peluang kekerasan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat didefinisikan: (1) kekerasan terbuka, yaitu kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; (2) kekerasan tertutup, yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam; (3) kekerasan agresif, yaitu kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; (4) kekerasan defensif, yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup (Santoso, 2002: 11).

Dalam konflik politik terdapat kekerasan langsung. Kekerasan langsung (direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan langsung (Susan, 2010: 121). Dalam kekerasan langsung ada hubungan subjek-tindakan-objek seperti kita lihat pada seseorang yang melukai orang lain dengan aksi kekerasan (Galtung dalam Susan, 2010: 121).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template Makalah (Non Penelitian)

JUDUL  (Judul Artikel Ditulis dengan Font Times New Roman 14, Maksimum 14 Kata untuk Bahasa Indonesia dan 12 Kata untuk Bahasa Inggris,)    ...