Kamis, 19 Mei 2016

KAJIAN WACANA FUNGSIONAL “Wacana Sebagai Praktik Sosial”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa mempunyai fungsi dan peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Fungsi bahasa yang utama yaitu sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh setiap manusia dalam kehidupannya mulai dari bangun tidur, melakukan aktivitas, hingga akan tidur lagi. Oleh karena itu, bahasa sangat dibutuhkan sebagai alat penghubung yang praktis bagi manusia untuk berinteraksi antarsesama agar seseorang dapat mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, keinginan, menyampaikan pendapat dan informasi melalui bahasa.
Wacana sebagai suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau rangkaian yang bersinambung dari bahasa dan memiliki tataran besar daripada kalimat. Wacana dibagi atas dua bagian, yaitu wacana lisan dan tulisan. Wacana lisan ditemukan dalam percakapan, pidato, lelucon, sedangkan wacana tulis terdapat pada media yang menggunakan bahasa tulis.
Ada beberapa pandangan yang terkait dengan hakikat wacana. Ketiga pandangan tersebut ialah hakikat wacana berdasarkan pandangan struktural, hakikat wacana berdasarkan pandangan fungsional dan hakikat wacana berdasarkan pandangan dialektik. Ketiga pandangan tersebut mendefinisikan wacana dengan konsep yang berbeda-beda.
Adanya keluasan kajian wacana tersebut, maka dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada hakikat wacana berdasarkan pandangan fungsional. Oleh karea itu, makalah ini berjudul “Wacana sebagai Praktik Sosial”. Dalam hal ini, dipaparkan hakikat wacana secara fungsional dan contoh analisis kasus wacana dengan pendekatan fungsional.

1.2         Rumusan Masalah
1.2.1   Bagaimana konsep wacana secara umum?
1.2.2   Bagaimana hakikat wacana secara fungsional?
1.2.3   Bagaimana analisis kasus wacana dengan pendekatan fungsional?

1.3         Tujuan
1.3.1   Menjelaskan konsep wacana secara umum.
1.3.2   Menjelaskan hakikat wacana secara fungsional.
1.3.3   Menjelaskan kasus wacana dengan pendekatan fungsional.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Konsep Wacana
Definisi wacana sudah banyak dilakukan oleh banyak orang. Sekian banyak definisi tersebut, pada dasarnya menekankan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Chaer, 2007: 267).
Wacana sebagai satuan bahasa yang lengkap, berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana tersebut dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dalam wacana dapat terpenuhi jika dalam wacana tersebut terdapat kekohesian. Kekohesian adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Jika wacana tersebut kohesif, maka terciptalah kekoherensian, yaitu isi wacana yang baik dan benar. Perhatikan wacana singkat berikut.
Dika dan Nita pergi ke toko buku. Dia ingin membeli kamus bahasa Jepang yang baru.
Wacana tersebut tidak kohesif karena kata ganti dia tidak jelas mengacu kepada siapa. Kepada Nita ataukah kepada Dika, dan ataukah kepada keduanya? Jika kepada keduanya, maka seharusnnya menggunakan kata ganti mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan wacana itu tidak koherens.

2.1.1 Unsur Pembentuk Wacana
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat dua unsur pembentuk wacana yang menjadi perhatian utama. Kedua unsur tersebut adalah kohesi dan koherensi.
1)             Kohesi
Kohesi pada dasarnya berkaitan erat dengan aspek semantis antarunsur di dalam teks. Kohesi merupakan hubungan yang diciptakan sebagai hasil ketikan interpretasi suatu unsur tekstual bergantung pada unsur lain di dalam teks (Renkema dalam Yuliawati, 2008: 13), Dengan kata lain, kajian kohesi mengindikasikan bahwa makna yang digambarkan di dalam teks adalah makna yang diinterpretasikan oleh penutur dan petutur berdasarkan kesimpulan yang mereka buat tentang hubungan proposisi yang melandasi apa yang diujarkan (Schiffrin, 1992: 9).
Kohesi memiliki beberapa unsur penting, yaitu keterikatan atau keterpautan hubungan makna antara satu unsur dengan unsur yang lain, baik dalam kata (antara morfem yang satu dengan yang lain), paragraf (klausa yang satu dengan klausa yang lain), maupun teks (antara paragraf satu dengan paragraf yang lain). Halliday dan Hasan (dalam Yuliawati, 2008: 15) membagi kohesi ke dalam lima jenis. Kelima jenis tersebut adalah (1) substitusi, yaitu penyulihan suatu kata atau kelompok kata oleh kata lain untuk tujuan tertentu; (2) referensi, yaitu hubungan pengacuan suatu unsur dengan unsur lain baik yang muncul sebelumnya, sesudahnya, atau bahkan di luar teks; (3) elipsis, yaitu pelesapan suatu kata atau bagian dari kalimat yang dilakukan untuk kepaduan wacana; (4) konjungsi; yaitu hubungan yang mengindikasikan bagaimana sebuah kalimat atau klausa dihubungkan dengan kalimat atau klausa lain; dan (5) kohesi leksikal, yaitu hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Dalam hal ini tidak menyangkut hubungan gramatikal tetapi hubungan tersebut didasari oleh makna kata yang digunakannya. Terdapat dua wujud kohesi leksikal, yaitu reiterasi dan kolokasi.
Sedikit berbeda dengan Halliday dan Hasan, Cutting (dalam Yuliawati, 2008: 16) membedakan perangkat kohesi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) kohesi gramatikal yang terdiri atas referensi, substitusi, dan elipsis; dan (2) kohesi leksikal, yang terdiri atas repetisi, sinonimi, superordinat, dan general words ‘kata-kata umum’.

2)             Koherensi
Kepaduan suatu wacana tidak hanya ditentukan oleh kehadiran pemarkah kohesi yang mengacu pada perangkat formal sebuah teks, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Kepaduan suatu wacana dapat pula ditunjukkan oleh perangkat kontekstual suatu teks, yang berupa situasi yang melatarbelakangi teks, sehingga teks tersebut dapat dipahami sebagai wacana yang padu (Gustianingsih, 2006: 109). Sebagai ilustrasi, perhatikanlah contoh berikut ini:
A: That’ll be the phone.
B: I’m in the bath
A: OK.
(Widdowson, 1978: 29)

Dalam petikan percakapan di atas tidak ada pemarkah kohesi yang digunakan. Namun partisipan dalam percakapan tersebut saling mengerti. Kita pun sebagai pembaca kiranya dapat memahami percakapan di atas, yaitu ketika penutur A menginformasikan kepada B bahwa seseorang menunggunya di telepon, petutur B merespon dengan menuturkan ujaran bahwa ia sedang mandi. Secara gramatikal sama sekali tidak tampak adanya relasi antara ujaran A dan B. Akan tetapi, ketika dihubungkan dengan konteks di luar teks, yaitu kegiatan partisipan B yang sedang mandi, partisipan A dapat memahami bahwa karena kegiatan yang belum selesai dilakukan partisipan B tersebut, partisipan B tidak bisa menjawab telepon. Pada
dasarnya kedua partisipan tersebut dapat saling memahami karena adanya pengetahuan bersama berdasarkan pengalaman atau kebiasaan yang dimiliki kedua partisipan tersebut. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa percakapan di atas merupakan wacana yang koheren.

3)             Konteks dalam Wacana
Konteks sangatlah penting dalam analisis wacana karena pada intinya yang dikaji dalam analisis wacana adalah makna kata-kata di dalam konteks. Yaitu, menganalisis bagaimana bagian-bagian makna dapat dijelaskan melalui pengetahuan dunia fisik dan sosial, serta faktor-faktor sosio-psikologis yang mempengaruhi komunikasi. Selain itu, pengetahuan tentang latar tempat dan waktu kata-kata tersebut diujarkan atau dituliskan pun menjadi bagian yang dianalisis (Jupriono, 2009: 58). Hal ini berarti bahwa konteks memiliki peranan yang sangat esensial untuk menafsirkan makna yang terkandung baik dalam wacana lisan maupun wacana tulisan. Konteks merupakan konsep yang dinamis dan bukan konsep yang statis. Oleh karena itu, konteks dipahami sebagai situasi yang selalu berubah, yang membuat partisipan dalam proses komunikasi dapat berinteraksi dan dengan konteks pula ekspresi bahasa yang mereka gunakan dalam berinteraksi menjadi dapat dipahami.
Saragih (2002: 37) mengemukakan bahwa konteks dalam wacana dibentuk dari delapan unsur seperti yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Kedelapan unsur tersebut adalah (1) setting ‘latar’, yang mengacu pada tempat atau ruang, waktu, dan kondisi fisik lainnya; (2) participants ‘partisipan’, yang mengacu pada peserta yang terlibat dalam komunikasi, misalnya penutur dan petutur atau penulis dan pembaca; (3) ends ‘hasil’, yang mengacu pada tujuan dan hasil komunikasi; (4) act sequences (pesan), yang mengacu pada bentuk dan isi pesan; (5) keys ‘cara’, yang mengacu pada cara ketika melakukan komunikasi, misalnya komunikasi dilakukan dengan cara yang serius, santai dll.; (6) instrumentalities ‘sarana’, yang mengacu pada sarana yang dipakai dalam menggunakan bahasa, yang meliputi (a) bentuk bahasa yaitu lisan atau tulisan dan (b) jenis tuturannya yaitu apakah dengan bahasa standar atau dengan dialek tertentu; (7) norms ‘norma’, yang mengacu pada perilaku partisipan dalam berinteraksi; dan (8) genre ‘jenis’, yang mengacu pada tipe-tipe teks seperti dongeng, iklan dan lainlain.
Konteks merupakan salah satu kajian utama dalam analisis wacana karena analisis wacana sangat memperhatikan makna kata-kata dalam proses interaksi dan bagaimana para partisipannya dapat mengkomunikasikan lebih banyak informasi dari yang sekedar terkandung dalam kata-kata yang mereka gunakan. Sedikit berbeda dengan Hymes (dalam Yuliawati, 2008: 20) mengemukakan bahwa konteks yang digunakan dalam menganalisis suatu wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Ketiga jenis konteks tersebut adalah (1) situational context ‘konteks situasi’, yaitu pengetahuan penutur yang dilandasi oleh segala sesuatu yang mereka lihat di sekitarnya; (2) background knowledge context ‘konteks pengetahuan dasar’, yaitu pengetahuan penutur tentang interlokutor dan juga tentang dunia. Konteks pengetahuan latar ini terdiri atas pengetahuan budaya dan pengetahuan interpersonal; dan (3) co-textual context atau yang biasa dikenal dengan ko-teks, yaitu pengetahuan penutur tentang apa yang telah dituturkannya.

2.2     Wacana Berdasarkan Pandangan Fungsional
Definisi wacana yang berasal dari paradigma fungsional memandang wacana sebagai penggunaan bahasa. Pada hakikatnya, percakapan dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi. Sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial, percakapan dapat disebut wacana dalam pandangan fungsional. Peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan sosial (Hayon (dalam Yuliawati, 2008: 24). Tujuan sosial yang dimaksud dalam pandangan tersebut mengacu kepada upaya pelaku tutur untuk mencapai pemahaman bersama dan menjalin hubungan harmonis. Seperti yang diperjelas dalam pandangan ini, maka analisis penggunaan bahasa tidak dapat terlepas dari analisis tentang tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan.
Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan bahasa berdasarkan pandangan fungsionalisme ialah wacana dilihat sebagai sebuah sistem (sebuah cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi tertentu yang diwujudkan. Percakapan dilakukan untuk menyatakan maksud guna mencapai dan mengandalkan pemahaman bersama. Meskipun keteraturan formal mungkin dicermati dengan sangat baik, sebuah definisi fungsionalisme tentang wacana mendorong para analis dari struktur dasar keteraturan tersebut berfokus pada cara pola-pola pembicaraan yang digunakan dalam tujuan konteks tertentu dan bagaimana pola-pola tersebut muncul dari penggunaan strategi komunikasi. Ancangan yang berdasarkan fungsi cenderung menggunakan berbagai metode analisis, yang sering didasarkan lebih pada humanistik untuk mereplikasi, meniru atau menggandakan tujuan atau kehendak para aktor. Dengan demikian, ancangan-ancangan itu lebih mengandalkan pada cara ujaran disituasikan dalam konteks daripada karakteristik gramatikal dari ujaran sebagai kalimat.

2.3     Analisis Kasus Wacana pada Stand-Up Commedy “Dodit”

Stand Up Dodit Mulyanto “Kesal Sama Mantan”
Selamat malam penduduk...
Saya pernah mengalami kendala saat open mick, yaitu mantan saya membawa cowok barunya. Mantan saya tuh mirip kamu, bukan kamu, belakangmu itu loh...saya mau main lagu buat kamu, sebel saya.... Itu lagu susu buat kamu biar sehat. Pertama kali saya stand up, saya tuh digangguin bapak-bapak. Kerjaannya tuh mencibir dan komentar saya terus, Pakde...(dengn melihat Indro). Saat saya mulai stand up, perkenalkan nama saya Dodit Mulyanto...Ya... Walaupun saya Jawa, keluarga saya tuh memegang erat budaya Eropa...bodo amat...Kalau pagi saya makan breakfast...hmmm mana lucunya..saya jawab “bodo amat”
Saat saya pertama kali stand up, saya itu sangat takut menatap mata penonton. Sangking takutnya, saya tuh menatap mata saya sendiri. (sambil berkedip-kedip dan penonton tertawa)
Saya Dodit Mulyanto, terimakasih....
Konteks yang diibaratkan dalam wacana diatas adalah sebuah peristiwa dimana budaya kita sudah dipengaruhi oleh budaya negara lain. Hal ini terlihat dalam wacana yang dituturkan oleh dodit bahwa masyarakat Indonesia kebanyakan mengunakan istilah istilah asing. Sebagai contoh makan pagi diganti dengan kata breakfast. Tetapi dalam hal ini komic mengemasnya menggunakan ragam bahasa santai dan ragam akrab sehingga terkesan lucu dalam penuturannya.

 Stand Up Abdur “Indonesia Masuk Piala Dunia”
Asyik asyik...
Assalamualaikum Wr Wb.
Terimakasih banyak teman-teman, terimakasih banyak...
Setiap kali ada datang piala dunia, itu selalu muncul pertanyaan yang sama di kepala kita semua. Pertanyaannya adalah “kapan sekali lagi Indonesia masuk piala dunia?” Kapan???
Teman-teman...ada orang tuh jawabannya macam-macam. Misalnya saja begini “Ah Indonesia masuk piala dunia tuh kia-kira pada saat kura-kura bisa manjat pohon atau ketika komodo jadi astronot”. Dan yang jawab begitu itu saya punya bapak. Saya takutnya PSSI dengar ini, kemudian PSSI mulai latih komodo untuk masuk NASA.
Teman-teman, kita itu bisa masuk piala dunia. Kita bisa! Generasi kita punya, skill kita punya, pendukung apalagi, jangan ditanya. Supporter Indonesia itu adalah satu-satunya supporter dunia yang rela nonton bola dari atas pohon.
Kemudian, teman yang dibawa tuh jaga tanya begitu “bagaimana sudah kelihatan kah”.
“belum”.
“Ah, kamu tuh kurang tinggi, naik lagi!”
“Ya..Ok..Ok..”
“bagaimana sudah kelihatan?”
“Sudah, tapi tidak ada orang”
“Ah, berarti kita salah stadion”
Teman-teman, kita itu bisa masuk piala dunia, tapi generasi kita tidak dijaga. Itu masalahnya. Anak-anak Timur tuh pintar bermain bola, tapi mereka tumbuh dengan pertanyaan besar di kepala, “Mau pilih bola atau sekolah?” dan yang susah itu bukan di Timur sebenarnya teman-teman.. saya pernah kerja bakti, bakti sosial itu saya pernah kerja di desa Ranu Pani. Itu desa di kaki gunung semeru itu. Kalau di kaki Ursula, itu namanya bukan desa, itu kutu air. Di kaki gunung semeru, anak-anak SD tuh bermain bola hebat-hebat, tapi tidak ada satupun yang kepingin jadi pemain bola. Tidak ada... nama-nama mereka itu nama-nama penyanyi dangdut. Sumpah betul, nama0namanya penyanyi dangdut. Jadi, sewaktu saya absen di kelas mereka. Saya seperti MC dangdut di kampung-kampung begitu. Nomor absen satu, Mukhsin Alatas. Nomor absen dua, Caca Handika. Nomor absen tiga, Raditya...Raditya Dika.
“He, Radit..kau punya bapak suka nulis kah?”
“kakak, saya pikir punya bapak, dia penyanyi dangdut”
“Kalo Radit itu penyanyi dangdut, dia punya goyang tuh, goyang dalam kardus”
Karena begitu teman-teman..dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu. Teman-teman ada yang tahu lagunya Zaskia? Tidak tahu...kita tahu dia goyang itik. Teman-teman, tahu lagunya Inul Daratista? Tidak tahu, kita tahunya dia goyang ngebor. Teman-teman tahu lagunya Angel Lelga? Tidak tahu, kita tahunya dia mantan Rhoma Irama.
Begitu..betul...waktu saya tanya cita-cita ke mereka. Mereka ada yang pingin jadi presiden, dokter, polisi, politisi. Kemudian, saya tanya lagi “Eh kenapa kamu mau jadi politisi?”. Dia jawab “iya kakak biar saya bisa kampanye di lapangan bola”. Kemudian saya tanya ke yg tadi namanya Radit, “Eh Raditya Dika, kau besar mau jadi apa?”. Aduh kakak saya gak mau muluk-muluk seperti teman-teman yang lain, saya jadi petani kayak baak saya saja”. Jujur teman-teman ketika saya mendengar itu, air mata saya jatuh. Saya merinding. Jadi, saya merenung, sekejam apa negara kita sampai anak sekecil ini saja tidak berani bermimpi, sekejam apa? Saya percaya, kalo negara kita ingin maju, maka bebaskan generasi kita untuk bermimpi. Itu kuncinya. Maka saya bilang ke Radit, “He Radit, meskipun badanmu pendek, tapi cita-cita itu harus tinggi. Kamu tuh bisa jadi anak yang terkenal di dunia, terkenal di Indonesia.” Kalo begitu saya jadi penyanyi dangdut saja.
Saya Abdur, selamat malam..terimakasih banyak teman-teman.

***
Konteks yang diibaratkan dalam wacana diatas adalah sebuah peristiwa yang dialami oleh seseorang dalam menyikapi situasi yang sedang terjadi. Bahwa ada kekesalan yang ada dalam diri sang penutur dalam menyampaikan sebuah gagasan yang ada dalam pikirannya. Tetapi dalam hal ini, sang penutur berusaha untuk menyampaikan hal tersebut sebagai sebuah lelucon. Ada pengaruh yang sangat besar sebagai contoh kritik social yang ada kehidupan masyarakat. Abdur dalam stand upnya yang berjudul “Indonesia Masuk Piala Dunia” merupakan sebuah kritik untuk pemerintah bahwa Indonesia sebenarnya mampu, memiliki potensi jikalau mengikuti ajang piala dunia hanya saja tidak ada realisasi untuk membuktikan hal itu, karna yang diharapkan pemerintah bukan kemajuan negaranya tetapi hal yang selalu menjurus pada pribadi. Tuturan yang dilakukan oleh Abdur (comic) merupakan problema-problema atau bentuk kekesalan masyarakat pada umumnya yang menginginkan Indonesia juga bisa untuk maju dalam bidang sepak bola yang dikemas secara menarik dalam humor dan mempunyai sifat menginformasikan sekaligus bersifat persuasif dalam mengungkapkan kekesalan masyarakat tersebut.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template Makalah (Non Penelitian)

JUDUL  (Judul Artikel Ditulis dengan Font Times New Roman 14, Maksimum 14 Kata untuk Bahasa Indonesia dan 12 Kata untuk Bahasa Inggris,)    ...