BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bahasa
merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa mempunyai fungsi dan peranan
yang besar dalam kehidupan manusia. Fungsi bahasa yang utama yaitu sebagai alat
komunikasi yang digunakan oleh setiap manusia dalam kehidupannya mulai dari
bangun tidur, melakukan aktivitas, hingga akan tidur lagi. Oleh karena itu,
bahasa sangat dibutuhkan sebagai alat penghubung yang praktis bagi manusia
untuk berinteraksi antarsesama agar seseorang dapat mengungkapkan ide, gagasan,
pikiran, keinginan, menyampaikan pendapat dan informasi melalui bahasa.
Wacana
sebagai suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau rangkaian yang
bersinambung dari bahasa dan memiliki tataran besar daripada kalimat. Wacana
dibagi atas dua bagian, yaitu wacana lisan dan tulisan. Wacana lisan ditemukan
dalam percakapan, pidato, lelucon, sedangkan wacana tulis terdapat pada media
yang menggunakan bahasa tulis.
Ada
beberapa pandangan yang terkait dengan hakikat wacana. Ketiga pandangan
tersebut ialah hakikat wacana berdasarkan pandangan struktural, hakikat wacana
berdasarkan pandangan fungsional dan hakikat wacana berdasarkan pandangan
dialektik. Ketiga pandangan tersebut mendefinisikan wacana dengan konsep yang
berbeda-beda.
Adanya
keluasan kajian wacana tersebut, maka dalam makalah ini hanya akan difokuskan
pada hakikat wacana berdasarkan pandangan fungsional. Oleh karea itu, makalah
ini berjudul “Wacana sebagai Praktik Sosial”. Dalam hal ini, dipaparkan hakikat
wacana secara fungsional dan contoh analisis kasus wacana dengan pendekatan
fungsional.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1 Bagaimana
konsep wacana secara umum?
1.2.2 Bagaimana
hakikat wacana secara fungsional?
1.2.3 Bagaimana
analisis kasus wacana dengan pendekatan fungsional?
1.3
Tujuan
1.3.1 Menjelaskan
konsep wacana secara umum.
1.3.2 Menjelaskan
hakikat wacana secara fungsional.
1.3.3 Menjelaskan
kasus wacana dengan pendekatan fungsional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Wacana
Definisi
wacana sudah banyak dilakukan oleh banyak orang. Sekian banyak definisi
tersebut, pada dasarnya menekankan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap,
sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau
terbesar (Chaer, 2007: 267).
Wacana
sebagai satuan bahasa yang lengkap, berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran
atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar
(dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar, wacana tersebut dibentuk dari kalimat atau
kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan
lainnya.
Persyaratan
gramatikal dalam wacana dapat terpenuhi jika dalam wacana tersebut terdapat
kekohesian. Kekohesian adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada
dalam wacana tersebut. Jika wacana tersebut kohesif, maka terciptalah
kekoherensian, yaitu isi wacana yang baik dan benar. Perhatikan wacana singkat
berikut.
Dika dan Nita pergi ke
toko buku. Dia ingin membeli kamus bahasa Jepang yang baru.
Wacana
tersebut tidak kohesif karena kata ganti dia
tidak jelas mengacu kepada siapa. Kepada Nita ataukah kepada Dika, dan
ataukah kepada keduanya? Jika kepada keduanya, maka seharusnnya menggunakan
kata ganti mereka. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan wacana itu tidak koherens.
2.1.1 Unsur
Pembentuk Wacana
Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, terdapat dua unsur pembentuk wacana yang menjadi perhatian utama.
Kedua unsur tersebut adalah kohesi dan koherensi.
1)
Kohesi
Kohesi pada
dasarnya berkaitan erat dengan aspek semantis antarunsur di dalam teks. Kohesi
merupakan hubungan yang diciptakan sebagai hasil ketikan interpretasi suatu
unsur tekstual bergantung pada unsur lain di dalam teks (Renkema dalam
Yuliawati, 2008: 13), Dengan kata lain, kajian kohesi mengindikasikan bahwa makna
yang digambarkan di dalam teks adalah makna yang diinterpretasikan oleh penutur
dan petutur berdasarkan kesimpulan yang mereka buat tentang hubungan proposisi
yang melandasi apa yang diujarkan (Schiffrin,
1992: 9).
Kohesi memiliki
beberapa unsur penting, yaitu keterikatan atau keterpautan hubungan makna
antara satu unsur dengan unsur yang lain, baik dalam kata (antara morfem yang
satu dengan yang lain), paragraf (klausa yang satu dengan klausa yang lain),
maupun teks (antara paragraf satu dengan paragraf yang lain). Halliday dan
Hasan (dalam Yuliawati, 2008: 15) membagi kohesi ke dalam lima jenis. Kelima
jenis tersebut adalah (1) substitusi, yaitu penyulihan suatu kata atau kelompok
kata oleh kata lain untuk tujuan tertentu; (2) referensi, yaitu hubungan
pengacuan suatu unsur dengan unsur lain baik yang muncul sebelumnya,
sesudahnya, atau bahkan di luar teks; (3) elipsis, yaitu pelesapan suatu kata
atau bagian dari kalimat yang dilakukan untuk kepaduan wacana; (4) konjungsi;
yaitu hubungan yang mengindikasikan bagaimana sebuah kalimat atau klausa
dihubungkan dengan kalimat atau klausa lain; dan (5) kohesi leksikal, yaitu
hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur
leksikal atau kata. Dalam hal ini tidak menyangkut hubungan gramatikal tetapi
hubungan tersebut didasari oleh makna kata yang digunakannya. Terdapat dua
wujud kohesi leksikal, yaitu reiterasi dan kolokasi.
Sedikit berbeda
dengan Halliday dan Hasan, Cutting (dalam Yuliawati, 2008: 16) membedakan
perangkat kohesi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) kohesi gramatikal yang
terdiri atas referensi, substitusi, dan elipsis; dan (2) kohesi leksikal, yang
terdiri atas repetisi, sinonimi, superordinat, dan general words ‘kata-kata
umum’.
2)
Koherensi
Kepaduan
suatu wacana tidak hanya ditentukan oleh kehadiran pemarkah kohesi yang mengacu
pada perangkat formal sebuah teks, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Kepaduan suatu wacana dapat pula ditunjukkan oleh perangkat kontekstual suatu
teks, yang berupa situasi yang melatarbelakangi teks, sehingga teks tersebut dapat
dipahami sebagai wacana yang padu (Gustianingsih, 2006: 109). Sebagai
ilustrasi, perhatikanlah contoh berikut ini:
A: That’ll be the phone.
B: I’m in the bath
A: OK.
(Widdowson, 1978: 29)
Dalam petikan percakapan di atas tidak
ada pemarkah kohesi yang digunakan. Namun partisipan dalam percakapan tersebut
saling mengerti. Kita pun sebagai pembaca kiranya dapat memahami percakapan di
atas, yaitu ketika penutur A menginformasikan kepada B bahwa seseorang
menunggunya di telepon, petutur B merespon dengan menuturkan ujaran bahwa ia
sedang mandi. Secara gramatikal sama sekali tidak tampak adanya relasi antara
ujaran A dan B. Akan tetapi, ketika dihubungkan dengan konteks di luar teks,
yaitu kegiatan partisipan B yang sedang mandi, partisipan A dapat memahami bahwa
karena kegiatan yang belum selesai dilakukan partisipan B tersebut, partisipan
B tidak bisa menjawab telepon. Pada
dasarnya
kedua partisipan tersebut dapat saling memahami karena adanya pengetahuan
bersama berdasarkan pengalaman atau kebiasaan yang dimiliki kedua partisipan
tersebut. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa percakapan di atas merupakan
wacana yang koheren.
3)
Konteks dalam Wacana
Konteks sangatlah penting dalam analisis
wacana karena pada intinya yang dikaji dalam analisis wacana adalah makna
kata-kata di dalam konteks. Yaitu, menganalisis bagaimana bagian-bagian makna
dapat dijelaskan melalui pengetahuan dunia fisik dan sosial, serta
faktor-faktor sosio-psikologis yang mempengaruhi komunikasi. Selain itu,
pengetahuan tentang latar tempat dan waktu kata-kata tersebut diujarkan atau
dituliskan pun menjadi bagian yang dianalisis (Jupriono, 2009: 58). Hal ini
berarti bahwa konteks memiliki peranan yang sangat esensial untuk menafsirkan
makna yang terkandung baik dalam wacana lisan maupun wacana tulisan. Konteks
merupakan konsep yang dinamis dan bukan konsep yang statis. Oleh karena itu,
konteks dipahami sebagai situasi yang selalu berubah, yang membuat partisipan
dalam proses komunikasi dapat berinteraksi dan dengan konteks pula ekspresi
bahasa yang mereka gunakan dalam berinteraksi menjadi dapat dipahami.
Saragih (2002: 37) mengemukakan bahwa
konteks dalam wacana dibentuk dari delapan unsur seperti yang terdapat dalam
setiap komunikasi bahasa. Kedelapan unsur tersebut adalah (1) setting ‘latar’,
yang mengacu pada tempat atau ruang, waktu, dan kondisi fisik lainnya; (2) participants
‘partisipan’, yang mengacu pada peserta yang terlibat dalam komunikasi,
misalnya penutur dan petutur atau penulis dan pembaca; (3) ends ‘hasil’,
yang mengacu pada tujuan dan hasil komunikasi; (4) act sequences (pesan),
yang mengacu pada bentuk dan isi pesan; (5) keys ‘cara’, yang mengacu
pada cara ketika melakukan komunikasi, misalnya komunikasi dilakukan dengan
cara yang serius, santai dll.; (6) instrumentalities ‘sarana’, yang
mengacu pada sarana yang dipakai dalam menggunakan bahasa, yang meliputi (a)
bentuk bahasa yaitu lisan atau tulisan dan (b) jenis tuturannya yaitu apakah
dengan bahasa standar atau dengan dialek tertentu; (7) norms ‘norma’,
yang mengacu pada perilaku partisipan dalam berinteraksi; dan (8) genre
‘jenis’, yang mengacu pada tipe-tipe teks seperti dongeng, iklan dan lainlain.
Konteks merupakan salah satu kajian
utama dalam analisis wacana karena analisis wacana sangat memperhatikan makna
kata-kata dalam proses interaksi dan bagaimana para partisipannya dapat
mengkomunikasikan lebih banyak informasi dari yang sekedar terkandung dalam
kata-kata yang mereka gunakan. Sedikit berbeda dengan Hymes (dalam Yuliawati,
2008: 20) mengemukakan bahwa konteks yang digunakan dalam menganalisis suatu
wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Ketiga jenis konteks tersebut adalah
(1) situational context ‘konteks situasi’, yaitu pengetahuan penutur
yang dilandasi oleh segala sesuatu yang mereka lihat di sekitarnya; (2) background
knowledge context ‘konteks pengetahuan dasar’, yaitu pengetahuan penutur
tentang interlokutor dan juga tentang dunia. Konteks pengetahuan latar ini
terdiri atas pengetahuan budaya dan pengetahuan interpersonal; dan (3) co-textual
context atau yang biasa dikenal dengan ko-teks, yaitu pengetahuan penutur
tentang apa yang telah dituturkannya.
2.2 Wacana Berdasarkan Pandangan Fungsional
Definisi wacana yang berasal dari
paradigma fungsional memandang wacana sebagai penggunaan bahasa. Pada hakikatnya,
percakapan dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi.
Sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial, percakapan dapat
disebut wacana dalam pandangan fungsional. Peristiwa komunikasi yang ditandai
oleh penggunaan bahasa antara penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal
bersemuka untuk mencapai tujuan sosial (Hayon
(dalam Yuliawati, 2008: 24). Tujuan sosial yang dimaksud dalam pandangan
tersebut mengacu kepada upaya pelaku tutur untuk mencapai pemahaman bersama dan
menjalin hubungan harmonis. Seperti yang diperjelas dalam pandangan ini, maka
analisis penggunaan bahasa tidak dapat terlepas dari analisis tentang
tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan.
Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan
bahasa berdasarkan pandangan fungsionalisme ialah wacana dilihat sebagai sebuah
sistem (sebuah cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui
fungsi-fungsi tertentu yang diwujudkan. Percakapan dilakukan untuk menyatakan
maksud guna mencapai dan mengandalkan pemahaman bersama. Meskipun keteraturan
formal mungkin dicermati dengan sangat baik, sebuah definisi fungsionalisme
tentang wacana mendorong para analis dari struktur dasar keteraturan tersebut
berfokus pada cara pola-pola pembicaraan
yang digunakan dalam tujuan konteks tertentu dan bagaimana pola-pola tersebut
muncul dari penggunaan strategi komunikasi. Ancangan yang berdasarkan fungsi
cenderung menggunakan berbagai metode analisis, yang sering didasarkan lebih
pada humanistik untuk mereplikasi, meniru atau menggandakan tujuan atau
kehendak para aktor. Dengan demikian, ancangan-ancangan itu lebih mengandalkan
pada cara ujaran disituasikan dalam konteks daripada karakteristik gramatikal
dari ujaran sebagai kalimat.
2.3 Analisis Kasus Wacana pada Stand-Up Commedy “Dodit”
Stand Up Dodit Mulyanto “Kesal
Sama Mantan”
Selamat malam penduduk...
Saya pernah mengalami kendala saat open mick, yaitu mantan saya membawa cowok
barunya. Mantan saya tuh mirip kamu, bukan kamu, belakangmu itu loh...saya
mau main lagu buat kamu, sebel saya.... Itu lagu susu buat kamu biar sehat.
Pertama kali saya stand up, saya tuh
digangguin bapak-bapak. Kerjaannya tuh mencibir dan komentar saya terus, Pakde...(dengn melihat Indro). Saat saya
mulai stand up, perkenalkan nama saya
Dodit Mulyanto...Ya... Walaupun saya Jawa, keluarga saya tuh memegang erat
budaya Eropa...bodo amat...Kalau pagi saya makan breakfast...hmmm mana lucunya..saya jawab “bodo amat”
Saat saya pertama kali stand up, saya itu sangat takut menatap
mata penonton. Sangking takutnya, saya tuh menatap mata saya sendiri. (sambil
berkedip-kedip dan penonton tertawa)
Saya Dodit Mulyanto,
terimakasih....
Konteks yang
diibaratkan dalam wacana diatas adalah sebuah peristiwa dimana budaya kita
sudah dipengaruhi oleh budaya negara lain. Hal ini terlihat dalam wacana yang
dituturkan oleh dodit bahwa masyarakat Indonesia kebanyakan mengunakan istilah
istilah asing. Sebagai contoh makan pagi diganti dengan kata breakfast. Tetapi dalam hal ini komic
mengemasnya menggunakan ragam bahasa santai dan ragam akrab sehingga terkesan
lucu dalam penuturannya.
Stand Up Abdur “Indonesia Masuk
Piala Dunia”
Asyik asyik...
Assalamualaikum Wr Wb.
Terimakasih banyak teman-teman,
terimakasih banyak...
Setiap kali ada datang piala dunia,
itu selalu muncul pertanyaan yang sama di kepala kita semua. Pertanyaannya
adalah “kapan sekali lagi Indonesia masuk piala dunia?” Kapan???
Teman-teman...ada orang tuh
jawabannya macam-macam. Misalnya saja begini “Ah Indonesia masuk piala dunia
tuh kia-kira pada saat kura-kura bisa manjat pohon atau ketika komodo jadi
astronot”. Dan yang jawab begitu itu saya punya bapak. Saya takutnya PSSI
dengar ini, kemudian PSSI mulai latih komodo untuk masuk NASA.
Teman-teman, kita itu bisa masuk
piala dunia. Kita bisa! Generasi kita punya, skill kita punya, pendukung
apalagi, jangan ditanya. Supporter Indonesia itu adalah satu-satunya supporter
dunia yang rela nonton bola dari atas pohon.
Kemudian, teman yang dibawa tuh
jaga tanya begitu “bagaimana sudah kelihatan kah”.
“belum”.
“Ah, kamu tuh kurang tinggi, naik
lagi!”
“Ya..Ok..Ok..”
“bagaimana sudah kelihatan?”
“Sudah, tapi tidak ada orang”
“Ah, berarti kita salah stadion”
Teman-teman, kita itu bisa masuk
piala dunia, tapi generasi kita tidak dijaga. Itu masalahnya. Anak-anak Timur
tuh pintar bermain bola, tapi mereka tumbuh dengan pertanyaan besar di kepala,
“Mau pilih bola atau sekolah?” dan yang susah itu bukan di Timur sebenarnya
teman-teman.. saya pernah kerja bakti, bakti sosial itu saya pernah kerja di
desa Ranu Pani. Itu desa di kaki gunung semeru itu. Kalau di kaki Ursula, itu
namanya bukan desa, itu kutu air. Di kaki gunung semeru, anak-anak SD tuh bermain
bola hebat-hebat, tapi tidak ada satupun yang kepingin jadi pemain bola. Tidak
ada... nama-nama mereka itu nama-nama penyanyi dangdut. Sumpah betul,
nama0namanya penyanyi dangdut. Jadi, sewaktu saya absen di kelas mereka. Saya
seperti MC dangdut di kampung-kampung begitu. Nomor absen satu, Mukhsin Alatas.
Nomor absen dua, Caca Handika. Nomor absen tiga, Raditya...Raditya Dika.
“He, Radit..kau punya bapak suka
nulis kah?”
“kakak, saya pikir punya bapak, dia
penyanyi dangdut”
“Kalo Radit itu penyanyi dangdut,
dia punya goyang tuh, goyang dalam kardus”
Karena begitu teman-teman..dangdut
yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu. Teman-teman ada
yang tahu lagunya Zaskia? Tidak tahu...kita tahu dia goyang itik. Teman-teman,
tahu lagunya Inul Daratista? Tidak tahu, kita tahunya dia goyang ngebor.
Teman-teman tahu lagunya Angel Lelga? Tidak tahu, kita tahunya dia mantan Rhoma
Irama.
Begitu..betul...waktu saya tanya
cita-cita ke mereka. Mereka ada yang pingin jadi presiden, dokter, polisi, politisi.
Kemudian, saya tanya lagi “Eh kenapa kamu mau jadi politisi?”. Dia jawab “iya
kakak biar saya bisa kampanye di lapangan bola”. Kemudian saya tanya ke yg tadi
namanya Radit, “Eh Raditya Dika, kau besar mau jadi apa?”. Aduh kakak saya gak
mau muluk-muluk seperti teman-teman yang lain, saya jadi petani kayak baak saya
saja”. Jujur teman-teman ketika saya mendengar itu, air mata saya jatuh. Saya
merinding. Jadi, saya merenung, sekejam apa negara kita sampai anak sekecil ini
saja tidak berani bermimpi, sekejam apa? Saya percaya, kalo negara kita ingin
maju, maka bebaskan generasi kita untuk bermimpi. Itu kuncinya. Maka saya
bilang ke Radit, “He Radit, meskipun badanmu pendek, tapi cita-cita itu harus
tinggi. Kamu tuh bisa jadi anak yang terkenal di dunia, terkenal di Indonesia.”
Kalo begitu saya jadi penyanyi dangdut saja.
Saya Abdur, selamat
malam..terimakasih banyak teman-teman.
***
Konteks yang diibaratkan dalam wacana diatas adalah sebuah peristiwa yang dialami oleh seseorang dalam menyikapi situasi yang sedang terjadi. Bahwa ada kekesalan yang ada dalam diri sang penutur dalam menyampaikan sebuah gagasan yang ada dalam pikirannya. Tetapi dalam hal ini, sang penutur berusaha untuk menyampaikan hal tersebut sebagai sebuah lelucon. Ada pengaruh yang sangat besar sebagai contoh kritik social yang ada kehidupan masyarakat. Abdur dalam stand upnya yang berjudul “Indonesia Masuk Piala Dunia” merupakan sebuah kritik untuk pemerintah bahwa Indonesia sebenarnya mampu, memiliki potensi jikalau mengikuti ajang piala dunia hanya saja tidak ada realisasi untuk membuktikan hal itu, karna yang diharapkan pemerintah bukan kemajuan negaranya tetapi hal yang selalu menjurus pada pribadi. Tuturan yang dilakukan oleh Abdur (comic) merupakan problema-problema atau bentuk kekesalan masyarakat pada umumnya yang menginginkan Indonesia juga bisa untuk maju dalam bidang sepak bola yang dikemas secara menarik dalam humor dan mempunyai sifat menginformasikan sekaligus bersifat persuasif dalam mengungkapkan kekesalan masyarakat tersebut.
Konteks yang diibaratkan dalam wacana diatas adalah sebuah peristiwa yang dialami oleh seseorang dalam menyikapi situasi yang sedang terjadi. Bahwa ada kekesalan yang ada dalam diri sang penutur dalam menyampaikan sebuah gagasan yang ada dalam pikirannya. Tetapi dalam hal ini, sang penutur berusaha untuk menyampaikan hal tersebut sebagai sebuah lelucon. Ada pengaruh yang sangat besar sebagai contoh kritik social yang ada kehidupan masyarakat. Abdur dalam stand upnya yang berjudul “Indonesia Masuk Piala Dunia” merupakan sebuah kritik untuk pemerintah bahwa Indonesia sebenarnya mampu, memiliki potensi jikalau mengikuti ajang piala dunia hanya saja tidak ada realisasi untuk membuktikan hal itu, karna yang diharapkan pemerintah bukan kemajuan negaranya tetapi hal yang selalu menjurus pada pribadi. Tuturan yang dilakukan oleh Abdur (comic) merupakan problema-problema atau bentuk kekesalan masyarakat pada umumnya yang menginginkan Indonesia juga bisa untuk maju dalam bidang sepak bola yang dikemas secara menarik dalam humor dan mempunyai sifat menginformasikan sekaligus bersifat persuasif dalam mengungkapkan kekesalan masyarakat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar